Ifa Isfansyah Senang Melihat Orang Senang
Sineas Ifa Isfansyah merasa sudah berada pada jalur yang pas di dunia film dan aktivisme.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fa36bf714-fc2b-4dd3-a620-7861b1bd0c16_jpg.jpg)
Sutradara Ifa Isfansyah saat ditemui di kantornya, di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Jumat (24/12/2021).
Sineas Ifa Isfansyah (42) merasa sudah berada pada jalur yang pas di dunia film dan aktivisme. Semua yang dia lakukan—entah itu menguntungkan atau tidak secara komersial—bertumpu pada satu hal, yakni menciptakan kegembiraan bagi orang lain. Sebab, dia senang melihat orang lain senang.
Ifa melangkah bergegas sembari menenteng segelas wine saat menyampaikan beberapa kalimat terima kasih dan selamat datang kepada para tamu undangan. Malam itu, Selasa (30/11/2021), para sineas dari berbagai daerah, terutama Yogyakarta, mengikuti gathering yang digelar Visinema di rooftop Naicla Sky Lounge, Gaia Cosmo Hotel, Kota Yogyakarta.
Ini bagian dari rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival yang saat itu Ifa menjadi Direktur Festival. Acara tidak akan dimulai sebelum Ifa hadir. Maka, ketika dia datang berkaus oblong dilapis kemeja tanpa dikancing, seluruh yang hadir bertepuk tangan meriah, lebih meriah dari alunan musik akustik yang kemudian memilih berhenti sesaat sembari menyimak Ifa. Malam itu dia menjadi sosok sentral.
Dalam pertemuan itu, banyak sineas muda yang dapat membangun jejaring dan masuk ke dalam ekosistem film. Sineas senang, rumah produksi seperti Visinema juga senang. Tentu saja Ifa ikut senang.
”Saat ini, sebenarnya saya sudah berada di titik yang jalan di impian. On track,” katanya sembari menceritakan telah menyutradarai beberapa film yang ramah penonton, seperti Garuda di Dadaku (2009) dan Losmen Bu Broto (2021).
Sejauh ini, Ifa sudah menyutradarai sedikitnya 14 film pendek dan panjang. Sebagian besar meraih banyak penghargaan nasional ataupun internasional. Salah satunya adalah Sang Penari (2011) yang mendapat delapan penghargaan, termasuk sebagai film terbaik Festival Film Indonesia 2011.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F70c4c15b-1e5f-4832-bb98-682012da0754_jpg.jpg)
Sutradara Ifa Isfansyah saat ditemui di kantornya, di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Jumat (24/12/2021).
Selain sebagai sutradara, beberapa kali Ifa memproduseri film-film yang mendapat banyak penghargaan, seperti Siti (2015), Turah (2018), The Seen and Unseen (2017), Kucumbu Tubuh Indahku (2018), dan Yuni (2021). ”Sebagai produser, saya membuat film yang berbasis kepada director driven. Sutradaranya mau ngomong apa saya dukung, saya kasih ruang,” ujar Ifa.
Dia tidak ingin mengintervensi proses kreatif sutradara dalam berkarya karena yang utama bagi dia adalah memercayai visi seorang sutradara. Dia hanya memberi pagar atau batasan, terutama yang menyangkut biaya. Misalnya, Ketika membuat film hitam putih, tidak mungkin biayanya harus sampai miliaran rupiah.
Pada wilayah aktivisme terkait film, Ifa merupakan salah satu pendiri Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) yang digelar setahun sekali sejak 2006. Pendiri lainnya adalah Garin Nugroho, Budi Irawanto, Yoseph Anggi Noen, Ajish Dibyo, Dyna Herlina, dan Ismail Basbeth.
Lewat bantuan Jaringan Promosi Film Asia (NETPAC) inilah mereka dapat menghadirkan film-film yang selama ini sulit atau bahkan tidak bisa ditonton orang-orang di Indonesia. Misalnya, dalam JAFF ke-16 tahun ini hadir film dari Kolombia Memoria (2021) dan film dari Jepang yang meraih penghargaan di Cannes Film Festival, Drive My Car (2021). Selepas nonton film ini, para penonton berdiskusi membahas banyak hal.
”Begitu saya lihat studio penuh orang nonton, itu yang nemuin film ke penonton, itu saya dan teman-teman. Ini sama puasnya dengan membuat film. Sama puasnya dengan saya mengajar di kelas. Ini ada 100 film Asia yang, kalau tidak menonton di JAFF, orang tidak bisa menonton. Lalu mereka diskusi,” papar Ifa menggambarkan kepuasan batinnya saat melihat orang senang menonton film-film di JAFF.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2F3e099f69-2903-4b49-8255-da4f8d936ac5_jpg.jpg)
Sutradara Ifa Isfansyah saat ditemui di kantornya, di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Jumat (24/12/2021).
Padahal, semua orang tahu bahwa mengorganisasi festival seperti JAFF ini sering kali merugi secara finansial. Namun, itu bukan alasan untuk berhenti. Sebab, bagi Ifa, JAFF seumpama corporate social responsibility (CSR). ”Dengan mengajar, sesekali produce (film), bikin festival, saya nyaman sekali,” kata pendiri dan Direktur Jogja Film Academy yang kini mempunyai sekitar 200 mahasiswa diploma tiga ini.
Menggeser haluan
Semula Ifa hanya ingin membuat film karena memang suka. Nyatanya itu saja tak cukup karena dia dibenturkan pada kenyataan bahwa film tak bisa ditonton orang jika tak ada yang menginformasikannya ke khalayak. Film tak bisa dinikmati banyak orang jika tak ada yang mendistribusikannya. Film tak akan diingat dan mendorong orang untuk menonton jika tak ada yang mendiskusikannya.
”Saat itu saya berproses di dalam sebuah ruang ketika energi filmnya belum mapan,” kata Ifa yang kemudian menggeser haluan tak hanya membuat film.
Ifa memosisikan diri sebagai generasi pertama era digital ketika baru muncul handycam yang bisa digunakan untuk membuat film, serta komputer yang bisa untuk mengedit film di awal tahun 2000-an. Pada saat yang sama, pelan tetapi pasti, orang-orang mulai beralih dari analog. Untuk itu, dia merasa bertanggung jawab mematangkan budaya digital itu dengan membangun gerakan yang antara lain termanifestasi dalam JAFF. Di sinilah Ifa banyak berbagi.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fa4db01eb-e5c1-438e-9258-2526e8e842c0_jpg.jpg)
Ifa Isfansyah
Soal berbagi ini bahkan Ifa memimpikan tentang generasi setelah dia. Dia tengah berupaya mencari pola pengarsipan film yang bagus agar segala yang telah dia lakukan bersama teman-temannya selama ini dapat diakses hingga puluhan tahun lagi.
”Ini PR besar. Sampai sekarang (pengarsipan film) tidak bagus dan butuh biaya besar sekali. Kalau sekolah dan bikin festival masih bisa dilakukan perorangan. Arsip itu biayanya itu ini yang masih menggelisahkan. Ini penting untuk cucu kita,” papar Ifa, yang tak ingin generasi setelah dia susah.
Soal tak senang melihat orang susah ini menjadi tabiat Ifa yang sudah lama melekat. Kira-kira begini dia menggambarkan hal itu, ”Kalau saya ditanya keinginannya apa, mau ngapain, saya seolah tidak punya keinginan. Kalau diajak ke gunung atau ke pantai mana, saya enggak pengin. Tapi, kalau saya pergi ke sana untuk menemani orang dan dia jadi senang ketika saya ikut, saya jadi ikut. Sejak kecil saya senang melihat orang bahagia. Orang senang melihat film itu karena saya sedang berbagi tadi. Saya senang.”
Dari meja makan
Tabiat tadi erat kaitannya dengan meja makan. Ayah dua anak itu lalu mengisahkan masa kecilnya sembari mengenang ibunya yang selalu masak untuk anak-anaknya. Meja makan tidak pernah kosong sehingga setiap saat anak-anak bisa makan. Ifa selalu senang makan meskipun kadang tidak lapar. Alasan utama dia makan bukan agar kenyang, melainkan dia senang melihat ekspresi ibunya yang tampak senang ketika melihat anak-anaknya makan.
Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, pernah suatu kali Ifa pulang dari bermain di luar rumah dan membuka tudung saji, ternyata nasi habis. ”Saat itu,
Ibu merasa patah hati, merasa melakukan kesalahan besar,” kata Ifa.
Padahal, saat itu Ifa tidak lapar-lapar amat, hanya ingin menyenangkan ibunya siapa tahu dia sudah masak dan dia tak ingin mengecewakan ibunya. Oleh karena itu, dia hendak makan. Dengan kata lain, nasi habis pun saat itu bukan masalah.
Peristiwa itu pelan-pelan menanamkan nilai kepada diri Ifa bahwa amat penting menyenangkan orang yang telah berusaha membuatnya senang. Namun, di sisi lain, jangan sampai upaya untuk menyenangkan orang itu justru membuat orang lain kecewa.
Oleh karena selalu tersedia makanan, sampai-sampai Ifa tidak pernah tahu perihnya lapar. Seingat Ifa, dia baru tahu rasa lapar di akhir masa SD ketika rekreasi bersama teman-teman sekolahnya naik bus. Sudah waktunya makan siang, tetapi bus belum sampai tujuan sehingga jadwal makan siang tertunda. ”Oh, begini tho, yang dimaksud lapar,” ucapnya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F12%2Fae292067-af9d-46c8-a3dd-a8ef071b4273_jpg.jpg)
Ifa Isfansyah
Ketersediaan makanan sebagai simbol kasih sayang ibunya itu membuat Ifa tumbuh subur. Beratnya sampai 103 kilogram. Lalu, pada 2006, setelah lulus kuliah dari ISI Yogyakarta, dia studi di Korea. Enam bulan pertama berat badannya turun drastis hingga tinggal 76 kilogram. Sebab, di sana dia harus cari makan sendiri dan tidak ada makanan senikmat tempe orek buatan ibunya.
Selain itu, setiap masuk kantin atau restoran, dia menghidu aroma amis,
seperti makanan laut, yang membuatnya tidak selera. Momen itu mendorongnya untuk beradaptasi sekaligus memperbaiki berat badan yang sempat melebihi ukuran ideal tersebut. Dia belajar menikmati makanan Korea sambil sesekali menikmati bekal dari ibunya, seperti bumbu pecel.
Kebiasaan ibunya yang menyediakan makanan itulah yang mendorong Ifa selalu berupaya menyenangkan orang lain. Karena dengan begitu, dia juga merasa senang, seperti ibunya yang senang saat anak-anaknya senang makan.
Baca juga: Energi Sosial Nirwan Arsuka Si Pengelana Buku
Sayangnya, tidak mudah untuk membuat semua orang senang. Ini juga dialami Ifa ketika menjadi sutradara. Saat memilih pemain, misalnya, tidak semua pelamar harus dia rekrut alias harus ada yang dikorbankan kalau memang tidak memenuhi kualifikasi.
”Hanya yang terbaik. Saya harus pasang badan. Ini saya merasakan berat banget. Itu mengapa saya sekarang merasa tidak pas jadi sutradara. Kurang kejam. Kecuali cerita keluarga dan anak-anak. Misalnya saya bikin film action, lalu men-direct rumah mau dibakar, saya tidak tega. Saya merasa, saya produser saja. Saya mengajar dan membuat film anak-anak. Saya nyaman.”
Bahkan, untuk pura-pura kejam seperti dalam proses pembuatan film, Ifa pun tak tega. Memang susah melihat orang lain susah kalau sudah terbiasa senang membuat orang lain senang.
Ifa Isfansyah
Lahir: 16 Desember 1979
Istri: Kamila Andini
Anak: Rintik Asa Kalani (8), Binar Nara Janata (5)
Pendidikan
- 2007-2009: Im Kwon Taek College of Film & Performing Arts Dongseo University Busan, South Korea.
- 1999-2007: Jurusan Televisi, Program Studi Film dan Televisi, Institut Seni Indonesia Yogyakarta
- 1995-1998: SMAN 6, Yogyakarta
- 1992-1995: SMPN 5, Yogyakarta
- 1986-1992: SD Muhammadiyah Sokonandi, Yogyakarta
Pendidikan Nonformal:
- 2006 Asian Film Academy Busan International Film Festival
- 1998-1999: Programming Computer Universitas Gadjah Mada
Pekerjaan:
- 2001-Sekarang: pendiri, sutradara dan produser Fourcolours Films
- 2006-Sekarang: Pendiri, Direktur Festival Jogja-NETPAC Asian Film Festival
- 2014-Sekarang: Pendiri, Direktur Jogja Film Academy
- 2018-Sekarang: Chairman Indonesian Film Directors Club
Prestasi antara lain:
- Anugerah Kebudayaan dan Penghargaan Maestro Seni dan Tradisi Kemendikbud 2017 Kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaru
- Anugerah Kebudayaan Gubernur DIY 2017
- Sutradara Terbaik FFI 2011