Urgensi Lembaga Kolaboratif Pencegahan Kebakaran Hutan Test
Idealnya tindakan pencegahan karhutla adalah program berkelanjutan yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait.

Pada tahun 2021, kebakaran hutan dan lahan atau karhutla meningkat 15,93 persen atau 56.280 hektar dibandingkan tahun sebelumnya. Sejak Januari hingga November 2021 terjadi karhutla seluas 353.222 hektar. Padahal, tahun 2020, luas karhutla hanya 296.942 hektar (Kompas.id, 23/12/2021).
Peningkatan ini sepertinya di luar prediksi banyak pihak. Seharusnya dengan kemarau basah yang terjadi, tingkat karhutla bisa menurun. Faktanya justru lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya. Lalu bagaimana halnya dengan musim kemarau pada tahun 2022 yang cenderung akan mengalami kemarau kering? Tampaknya bisa lebih besar lagi apabila sejak dini tidak diantisipasi.
Sejatinya dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2020, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama lembaga dan instansi terkait telah mewaspadai sejak dini potensi karhutla. Namun, tampaknya program pencegahan karhutla belum menjadi program berkelanjutan yang dilakukan secara kolaboratif.
Baca juga: Bersiaplah Menghadapi Kebakaran Hutan Lebih Ekstrem
Dominan praktik penanggulangan
Upaya para pihak terkait karhutla sepertinya cukup maksimal. Namun, langkah dan upaya tersebut sepertinya masih terfokus pada penanggulangan kebakaran setelah terjadi karhutla. Kondisi ini berkaitan dengan paradigma kebencanaan di mana upaya penanggulangan baru dimulai dan dilaksanakan setelah terjadi bencana. Kalaupun ada tindakan pencegahan, pencegahan yang dimaksud adalah lebih kepada upaya mitigasi agar dampak bencana kebakaran tidak meluas.
Konsepsi ini secara eksplisit dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan berbagai aturan turunannya. Pasal 1 poin 16 UU tersebut mendefinisikan kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana. Selanjutnya pada poin 17 memaknai risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F02%2F22%2Ff05ef8d0-cb0d-4a51-ba62-afff1f88f261_jpg.jpg)
Kebakaran hutan dan lahan
Konsepsi ini agak berbeda dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolalan Lingkungan Hidup. Pasal 13 Ayat (2) UU tersebut menyebutkan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Pengendalian Karhutla pada Pasal 1 poin 39 mendefinisikan pencegahan karhutla sebagai semua usaha, tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan/atau lahan. Konsepsi ini juga misalnya dianut dalam Perda Riau Nomor 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Teknis Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Artinya, serangkaian program atau kegiatan pencegahan seharusnya dilaksanakan sebelum terjadi kebakaran hutan dan lahan. Namun, faktanya sepertinya kita baru tampak sibuk setelah karhutla melanda.
Serangkaian program atau kegiatan pencegahan seharusnya dilaksanakan sebelum terjadi kebakaran hutan dan lahan.
Kelembagaan penanggulangan karhutla
Kondisi ini pun sepertinya berkaitan dengan minimnya dasar hukum dan regulasi yang tersedia untuk mendukung upaya pencegahan karhutla secara terintegrasi. Idealnya tindakan pencegahan karhutla adalah program berkelanjutan yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait. Untuk itu dibutuhkan pelembagaan atau institusionalisasi upaya pencegahan karhutla mulai dari tingkat daerah sampai ke tingkat regional dan nasional.
Pada tingkat daerah kalaupun ada kelembagaan kolaborasi antarlembaga baru diperuntukkan untuk penanggulangan (pemadaman) dan penanganan pascabencana. Misalnya, berdasarkan Perda Riau Nomor 1 Tahun 2019 pada setiap tingkatan pemerintahan dibentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengendalian Kebakaran Hutan dan/atau Lahan. Artinya, akan ada Satgas Karhutla pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta pada tingkat desa (Pasal 45).
Baca juga: Karhutla Mulai Mengancam Kalteng, Mitigasi Bencana Disiapkan
Selanjutnya, Pergub Riau Nomor 9 Tahun 2020 tentang Prosedur Tetap Kriteria Penetapan Status Keadaan Darurat Bencana dan Komando Satuan Tugas Pengendalian Karhutla menegaskan bahwa dengan ditetapkannya Status Siaga Darurat, maka pemerintah provinsi melalui BPBD provinsi segera membentuk Komando Satuan Tugas Pengendalian Karhutla dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan kebencanaan serta mengaktifkan pos komando pengendalian karhutla (poin f lampiran).
Dengan demikian, Satgas baru akan dibentuk setelah status siaga darurat bencana Karhutla ditetapkan. Tentu kegiatan satgas baru ada setelah bencana kebakaran terjadi. Kondisi seperti ini juga berlaku di banyak provinsi lainnya terutama yang rentan dengan karhutla.

Petugas dari Satgas Karhutla Provinsi Riau berusaha memadamkan bara api yang membakar lahan gambut di Desa Karya Indah, Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (26/07/2019).
Urgensi lembaga kolaboratif
Sedikit lebih maju dalam kelembagaan pencegahan karhutla secara kolaboratif dan berkelanjutan adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Bupati Ogan Komiring Ilir, Sumatera Selatan, dengan SK Bupati Nomor 346/Kep/BPBD/ 2019 tentang Pembentukan Kluster Pencegahan dan Penangulangan Kebakaran Hutan, Kebun, dan Lahan Kabupaten Ogan Komering Ilir Tahun 2019-2021.
Lembaga kolaboratif yang ditujukan untuk melaksanakan program pencegahan karhutla pada tingkat kabupaten ini beranggotakan tidak hanya organisasi pemerintah daerah (OPD) terkait pencegahan karhuta, tetapi juga beranggotakan lembaga dan instasi vertikal, seperti Manggala Agni KLHK, KPH, serta TNI dan kepolisian. Juga tentu perusahaan kehutanan dan perkebunan serta LSM.
Pilihan bentuk kelembagaan pencegahan karhutla pada setiap daerah tergantung dari kebutuhan dan kondisi riil setiap daerah. Di Kabupaten Ogan Komering Ilir, misalnya, dengan telah pernah ada lembaga kluster yang dibentuk sangat potensial kemungkinannya untuk melanjutkan keberadaan lembaga tersebut dengan tentu melakukan revisi dan revitalisasi kelembagaan.
Baca juga: Lokasi Baru Kebakaran Lahan Mulai Bermunculan di Sumatera
Dari sisi susunan organisasi, misalnya, untuk mengatasi kendala struktural kelembagaan dan memastikan setiap OPD yang relevan menyusun, mengganggarkan, serta mengolaborasi program pencegahan karhutla ke dalam kluster, maka untuk susunan pengarah perlu meletakkan jabatan secara ex officio satu tingkat di bawah kepala daerah (misalnya sekretaris daerah) sebagai ketua pengarah. Kemudian pelibatan kalangan profesional dalam kluster antara lain sebagai manajer kluster serta pelibatan kalangan akademisi (perguruan tinggi) dan LSM sebagai monitoring independen perlu mendapat perhatian.
Dasar pembentukan kluster atau apa pun namanya yang disepakati di daerah cukup dengan surat keputusan kepala daerah. Namun akan lebih kuat lagi apabila secara normatif kelembagan diatur dengan sebuah peraturan kepala daerah.
Mencegah karhutla perlu dilakukan secara sistematis, terkoordinasi, terintegrasi, dan berkelanjutan. Karena pasti kita meyakini mencegah lebih baik ketimbang sekadar memadamkan api yang telah telanjur membumihanguskan hutan dan lahan.
Zenwen Pador, National Legal Expert Program SIAP- IFM, Kemitraan; Facebook: zenwen.pador