Asta Cita Prabowo-Gibran Diharapkan Kembalikan Sistem Ekonomi Pancasila dan UUD 1945
Kemiskinan di Indonesia dilihat tidak hanya sebagai masalah pendapatan, tetapi juga lebih sebagai akibat dari ketidakberdayaan rakyat dalam mengakses sumber daya ekonomi.


FGD “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Kedaulatan Ekonomi” digelar BPIP di Universitas Muhammadiyah Kupang, NTT, Kamis (17/10/2024).
Sistem ekonomi nasional sudah seharusnya dilandaskan dan berakar pada penerapan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, pada kenyataannya, saat ini, sistem ekonomi yang dibangun masih belum mengakar pada falsafah pendirian bangsa itu.
Hal itu ditegaskan Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertajuk “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Kedaulatan Ekonomi” yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Muhammadiyah Kupang, NTT, Kamis (17/10/2024).
“Instrumen untuk mengelola ekonomi agar benar-benar menjamin rakyat sejahtera itu tidak ada. Yang sekarang tidak kita miliki itu adalah sistemnya. Seharusnya kita memiliki sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945,” kata Hendri.
Menurut Hendri, kegagalan dalam membangun sistem ekonomi ini membuat pengelolaan ekonomi Indonesia rentan bergantung pada siapa yang berkuasa, tanpa ada acuan yang jelas untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Namun, Asta Cita, visi dari Presiden Terpilih Prabowo Subianto, yang berkomitmen pada penguatan ideologi Pancasila, menjadi harapan baru untuk membangun sistem ekonomi yang lebih berkeadilan.
"Jika presiden baru menetapkan Asta Cita pertama itu adalah ideologi dan di situ ideologi Pancasila, artinya seharusnya akan ada sistem ekonomi yang sesuai Pancasila dan UUD 1945,” ujar Hendri.
Asta Cita diharapkan dapat membawa perubahan signifikan. Salah satu poin pentingnya, bagaimana kebijakan ini dapat mengembalikan kedaulatan negara dalam mengelola sumber daya untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Namun, di balik optimisme tersebut, tantangan besar masih membayangi, terutama dalam hal ketimpangan ekonomi dan kedaulatan rakyat.

Para pembicara FGD BPIP bertajuk “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Kedaulatan Ekonomi”.
Peneliti The Institute for Ecosoc Right Sri Palupi mengatakan, saat ini, kedaulatan ekonomi Indonesia hanyalah cek kosong bagi rakyat. Ia mengutip Romo YB Mangunwijaya yang mengatakan “malapetaka masa kini adalah kebohongan”, merujuk pada klaim keberhasilan ekonomi pemerintah yang dinilai jauh dari realitas yang dirasakan rakyat.
Palupi menyoroti ketimpangan yang mencolok ketika 10 persen orang terkaya menguasai 75 persen kekayaan Indonesia. Sementara itu, mayoritas rakyat hanya bisa mengakses “ampasnya”. “Bagaimanapun rakyat berusaha sekeras apa pun, enggak akan sukses,” sebutnya.
Ia juga mengungkapkan kekhawatiran tentang utang negara yang mencapai lebih dari Rp 8.400 triliun dan lonjakan kasus korupsi yang merugikan negara dan rakyat. Palupi mengaitkan masalah ini dengan revisi Undang-Undang KPK yang dianggap memperlemah pemberantasan korupsi, serta UU Cipta Kerja yang dinilai mempercepat perampasan hak-hak dasar rakyat demi kepentingan korporasi.
Di tengah berbagai tantangan ini, Rektor Universitas Widya Mandira Philipus Tule menyoroti pentingnya kemitraan antara pemerintah dan lembaga-lembaga agama dalam pembangunan ekonomi.
Menurut Tule, pada masa sebelum kemerdekaan dan awal kemerdekaan, ada kerja sama yang erat antara pemerintah dan lembaga keagamaan dalam upaya membangun masyarakat. "Mereka menyelamatkan jiwa, tetapi juga membangun ekonomi," kata Tule merujuk pada peran misionaris di NTT.
Namun, Tule menyayangkan bahwa kemitraan ini kian pudar seiring waktu, dengan lembaga agama sering dianggap sebagai kompetitor oleh pemerintah dalam proyek-proyek pembangunan. Ia menekankan perlunya mengembalikan prinsip kemitraan ini untuk mencapai tujuan pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Tule juga mengingatkan penyelenggara negara harus mengedepankan etika dalam mengelola ekonomi, dengan fokus pada pengentasan rakyat dari kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Rekomendasi BPIP

Para peserta FGD BPIP di Universitas Muhammadiyah Kupang, NTT.
FGD BPIP di Kupang menghasilkan beberapa rekomendasi penting terkait kedaulatan ekonomi dan pengentasan kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan di Indonesia dilihat tidak hanya sebagai masalah pendapatan, tetapi juga lebih sebagai akibat dari ketidakberdayaan rakyat dalam mengakses sumber daya ekonomi.
Hambatan struktural seperti regulasi yang berpihak pada pemodal besar dan kapitalisme global memperparah situasi ini, menyebabkan ketidakadilan sosial semakin meningkat. Selain itu, praktik oligarki, korupsi, dan kolusi semakin menegaskan kerapuhan sistem ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat.
Solusi yang diusulkan menekankan pentingnya penerapan demokrasi ekonomi berbasis Pancasila, yang tidak hanya memperhatikan efisiensi pasar, tetapi juga kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya. Beberapa rekomendasi mencakup penyusunan kebijakan holistik yang melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal serta penguatan peran organisasi masyarakat dan tokoh agama dalam mengeliminasi kemiskinan struktural dan kultural.
Langkah-langkah seperti memperkuat produksi lokal melalui teknologi modern, menciptakan lapangan kerja yang lebih inklusif, serta meningkatkan pengawasan terhadap regulasi yang merugikan rakyat juga disorot sebagai prioritas.
Pentingnya pendidikan dalam memutus rantai kemiskinan juga menjadi perhatian utama, dengan fokus pada pendidikan vokasi, kewirausahaan, dan kreativitas di sekolah-sekolah formal. Masyarakat juga didorong untuk lebih selektif dalam memilih pemimpin yang kompeten dan bebas dari praktik korupsi.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat, diharapkan masalah perdagangan manusia dan kemiskinan di NTT dapat diatasi secara lebih efektif dan berkelanjutan. [*]