BerandaJurnalisme DataTransparansi Semu Pengelo...

Transparansi Semu Pengelolaan Dana Desa

Publikasi anggaran dana desa ada. Transparansi, katanya, wajib. Lalu mengapa masih banyak warga yang tak tahu?

Oleh Deny Ramanda

19 Feb 2025 11:26 WIB · Jurnalisme Data

Ke mana perginya dana desa? Sejak 2015, triliunan rupiah mengalir ke desa-desa, tetapi transparansi pengelolaannya masih menjadi tanda tanya. Padahal, Undang-Undang Desa mewajibkan keterbukaan anggaran. Sayangnya, banyak desa masih tertutup, membuat warga hanya bisa menebak-nebak ke mana uang itu digunakan. 

Pemerintah desa wajib memublikasikan prioritas penggunaan dana desa sejak Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) ditetapkan. Publikasi bisa dalam bentuk baliho, papan informasi, selebaran, pengeras suara, situs web, hingga media cetak, sosial, dan elektronik. Yang terpenting, ditempatkan di ruang publik dan mudah diakses warga. 

Hasil olahan data Tim Jurnalisme Data Harian Kompas terhadap data Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, hanya 18,73 persen desa yang memasang baliho terkait dana desa, dari total 75.265 desa.

Kepala desa se-Sulawesi Tenggara mengikuti rapat kerja pengelolaan dana desa 2020, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (25/2/2020). Kemendagri juga akan melakukan verifikasi ulang terkait aturan bermasalah yang menjadi dasar pembentukan 56 desa di Konawe.
Kepala desa se-Sulawesi Tenggara mengikuti rapat kerja pengelolaan dana desa 2020, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (25/2/2020). Kemendagri juga akan melakukan verifikasi ulang terkait aturan bermasalah yang menjadi dasar pembentukan 56 desa di Konawe.

Padahal, baliho memiliki keunggulan, seperti jangkauan yang luas, tahan cuaca, serta tidak bergantung pada listrik atau teknologi. Dari sekian banyak media sosialisasi, baliho juga paling mudah dipakai.

Peneliti Senior dari The SMERU Research Institute, Muhammad Syukri, mengatakan, keberadaan baliho bermula dari tujuan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah desa.

Publikasi memang tidak hanya melalui baliho, tetapi bisa disesuaikan dengan kondisi wilayah. Di daerah dengan infrastruktur telekomunikasi yang baik, medium, seperti grup Whatsapp warga, situs web desa, atau media sosial, akan lebih mudah diakses warga. 

”Namun, untuk desa terpencil dengan infrastruktur terbatas, baliho masih menjadi opsi terbaik karena tahan cuaca dan kerusakan dari tindakan jahil,” kata peneliti senior SMERU, Muhammad Syukri. 

Mulyadi (52), warga Desa Sampora, Tangerang, Banten, mengaku belum pernah melihat baliho anggaran dana desa di desanya meski pernah melihatnya di desa lain. Ia berharap informasi penggunaan dana desanya bisa ditampilkan di tempat yang mudah dijangkau warga. 

”Penasaran dana desa di tempat saya buat apa. Di sini, kan, apa-apa sudah ada,” katanya. 

Infrastruktur di Desa Sampora, yang merupakan ibu kota Kecamatan Cisauk, sudah lengkap dan rapi. Di wilayah ini, banyak berdiri permukiman kelas menengah ke atas karena pengembang membangun infrastruktur umum yang turut dinikmati oleh warga desa lainnya. 

Kepala Badan Pengembangan dan Informasi Desa dan Daerah Tertinggal Mulyadin Malik menegaskan bahwa pemerintah desa yang tidak memublikasikan prioritas penggunaan dana desa bisa mendapat sanksi administratif, mulai dari teguran lisan, tertulis, atau keduanya.  

”Sanksi juga bisa dari bupati atau wali kota berdasarkan laporan pengawasan Badan Permusyawaratan Desa atau Masyarakat,” kata Mulyadin, Kamis (23/1/2025) siang.   

Sulit dipahami 

Tim Jurnalisme Data Kompas mencatat, Sumatera menjadi pulau dengan baliho dana desa terbanyak, 30 persen dari semua baliho di Indonesia. Provinsi Aceh menempati peringkat tertinggi, dengan tujuh dari 10 kabupaten/kota di sana terbanyak dalam pemasangan baliho.   

Di sisi lain, dari olah data 591 putusan pengadilan terkait korupsi dana desa (2014–2024) yang bersumber dari Direktori Putusan Mahkamah Agung, tim juga menemukan bahwa pelaku terbanyak berasal dari Aceh (9,28 persen), disusul Jawa Tengah (7,52 persen). 

Sejumlah mahasiswa dan pelajar berada di Balai Desa Nita untuk mengakses internet  melalui Wi-Fi  secara gratis. Balai desa didesain multifungsi antara lain untuk perpustakaan, olahraga pingpong, diskusi atau musyawarah dusun dan desa, arisan warga, serta studi kelompok dan diskusi remaja.
Sejumlah mahasiswa dan pelajar berada di Balai Desa Nita untuk mengakses internet melalui Wi-Fi secara gratis. Balai desa didesain multifungsi antara lain untuk perpustakaan, olahraga pingpong, diskusi atau musyawarah dusun dan desa, arisan warga, serta studi kelompok dan diskusi remaja.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara, menilai, sosialisasi melalui baliho memang belum cukup untuk memastikan pemahaman masyarakat tentang penggunaan dana desa. Pemasangan baliho tanpa penjelasan dari perangkat desa hanya menciptakan transparansi semu. 

”Di kantor desa, papan dana desa hanya berisi angka yang sulit dipahami warga. Transparansi hanya akan berjalan jika perangkat desa memberikan penjelasan yang memadai,” ujar Seira.   

Seira menegaskan, transparansi tidak cukup hanya dengan angka di papan informasi. Diperlukan sosialisasi langsung, diskusi terbuka, dan mekanisme pengaduan yang mudah diakses. 

Ia menekankan bahwa partisipasi publik penting untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan dari publik, yang merasakan dampak langsung, lebih efektif daripada pengawasan dari aparat pemerintah.   

Syukri mengatakan, jika suatu masyarakat sudah terbiasa dengan keterbukaan, pengelolaan dana desa juga akan berjalan terbuka. Ia memberikan contoh desa yang tidak hanya memasang baliho, tetapi juga mengadakan musyawarah hingga tingkat rukun tetangga (RT). Dengan cara ini, informasi dana desa mengalir dengan lancar, dan warga tahu dengan jelas alokasi dan penggunaannya. 

”Jika keterbukaan sudah menjadi budaya, pemerintah desa tak sekadar memasang baliho, tetapi juga membuka Rencana Anggaran Biaya dalam musyawarah,” kata Syukri. 

Sebaliknya, di desa yang belum memiliki budaya keterbukaan, meski ada perintah untuk memasang baliho atau sosialisasi, hal itu sering kali hanya sebatas formalitas. Bahkan jika ada papan informasi, biasanya hanya satu atau dua yang dipasang.  

”Ironisnya, kewajiban publikasi ini sering dijadikan proyek tersendiri di tingkat kabupaten atau kecamatan. Papan informasi harus dibuat melalui aparat tertentu,” ungkap Syukri. 

Kelompok paling diuntungkan 

Baliho di samping balai desa merupakan satu-satunya sumber informasi bagi Ulfa (40), warga Desa Tenajar Lor, Kecamatan Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, untuk mengetahui anggaran dan program desa. Ia biasa mengamati baliho itu saat antre mengambil bantuan beras di balai desa. 

Namun, informasi yang disajikan, menurut dia, kurang detail, terutama mengenai anggaran PAUD tempatnya mengajar bersama dua rekan lainnya. Dengan gaji Rp 200.000 per bulan untuk mengajar 50 anak, Ulfa ingin mengetahui besaran anggaran PAUD sesungguhnya guna mempertimbangkan permintaan kenaikan gaji. 

Ulfa tidak ikut dalam grup Whatsapp desa sehingga berharap baliho diperbanyak dan grup Whatsapp bisa menampung lebih banyak warga untuk memudahkan aliran informasi. ”Selama ini bingung bertanya kepada siapa,” keluhnya terkait kesulitan meminta kenaikan gaji. 

Sosialisasi dana desa masih menghadapi tantangan dalam menjangkau semua lapisan masyarakat. Padahal, informasi tentang dana desa seharusnya disampaikan sebelum musyawarah desa atau diskusi dengan pemerintah desa untuk mendorong partisipasi warga dalam pembangunan desa. 

Menurut sosiolog pedesaan IPB University, Ivanovich Agusta, selama ini hanya segmen masyarakat tertentu yang paham akan dana desa. Mengutip data distribusi pendapatan Bank Dunia, 40% kelompok menengah adalah yang paling memahami informasi. Sementara 40% kelompok bawah dan 20% kelompok atas kurang terinformasi. Hal serupa terlihat juga di desa terkait informasi dana desa.

”Dalam musyawarah desa, usulan pembangunan jalan sering kali berasal dari golongan menengah yang punya toko, warung, atau usaha tani di daerah tersebut,” kata Ivan.

Kelompok masyarakat bawah umumnya hanya menerima informasi terkait bantuan langsung tunai (BLT) dan kurang memperhatikan informasi lain karena kesibukan mereka.

Untuk memperbaiki aliran informasi, Ivan menyarankan perlunya melatih pelopor pembangunan desa dari lembaga lokal sebagai penghubung antara pemerintah dan warga, serta melibatkan pemuda desa dalam penyebaran informasi. Pelatihan pemuda desa untuk menyebarkan informasi ke masyarakat bawah juga dapat membantu.

Selain itu, pendataan melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) desa juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman warga tentang program dana desa. Pendamping desa juga dapat dimanfaatkan perannya untuk sosialisasi dana desa dan program pembangunan desa.

”Sayangnya, pendamping desa sering kali lebih fokus mendampingi pemerintah desa daripada warga desa,” kata Ivan. (RSW/SPW/EKI) 


Cookies Injector