Soal Amnesti untuk Koruptor Artikel Panjang

Pemberian amnesti untuk koruptor tidaklah tepat jika pemerintah tak memiliki ketentuan tegas soal pembuktian terbalik, perampasan aset, dan pelaporan kekayaan.

Oleh Arga Yuda Permana

30 Des 2024 12:47 WIB · Politik & Hukum

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR di Jakarta, Selasa (11/2/2025), mengatakan, mekanisme pembayaran tarif layanan ke fasilitas kesehatan akan diubah dari yang sebelumnya berdasarkan tarif INA-CBGs atau Indonesia Case Based Group menjadi iDRG atau Indonesia Diagnosed Related Group.


Coba tambah paragrah dalam satu array

Tarif INA CBGs dalam pelaksanaan JKN mempertimbangkan jenis rumah sakit yang memberikan pelayanan. Terdapat enam jenis rumah sakit saat ini, yakni kelas D, kelas C, kelas B, dan A, rumah sakit umum, dan rumah sakit khusus rujukan nasional. Tarif ini juga disusun berdasarkan kelas perawatan, yakni perawatan untuk kelas 1, 2, dan 3.

Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan pemerintah tidak akan memberikan amnesti kepada koruptor. Namun, apakah amnesti koruptor bisa diterapkan?

Meski mungkin semangatnya sama-sama memberantas korupsi, cara mengatasi problem kejahatan ini dengan memberikan ampunan terhadap koruptor asal mereka membayar ganti rugi atau mengembalikan uang yang mereka korupsi jelas kurang tepat.

Wacana denda damai bagi koruptor awalnya muncul saat Presiden Prabowo Subianto berpidato di hadapan mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam supaya enggak ketahuan,” ujar Prabowo.

Setelah pernyataan Presiden tersebut, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra menjelaskan bahwa gagasan pengampunan koruptor asal mengembalikan uang yang dikorupsi/dicuri menjadi salah satu strategi pemberantasan korupsi yang menekankan pemulihan kerugian negara.

Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II Andra Y. Agussalam mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan korupsi di PT Angkasa Pura II di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (2/8/2019). KPK menahan dua orang tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan Baggage Handling System (BHS) di PT Angkasa Pura Properti, yakni Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II Andra Y. Agussalam sebagai penerima suap dan Staf PT INTI Taswin Nur sebagai pemberi suap. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II Andra Y. Agussalam mengenakan rompi tahanan seusai menjalani pemeriksaan terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan korupsi di PT Angkasa Pura II di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (2/8/2019). KPK menahan dua orang tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan Baggage Handling System (BHS) di PT Angkasa Pura Properti, yakni Direktur Keuangan PT Angkasa Pura II Andra Y. Agussalam sebagai penerima suap dan Staf PT INTI Taswin Nur sebagai pemberi suap. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Kemudian Supratman melontarkan gagasan pengampunan bagi koruptor melalui denda damai. Melalui mekanisme itu, perkara korupsi bisa dihentikan di luar pengadilan asalkan pelaku tindak pidana membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.

Hanya saja Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU No 20/2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidana. Dengan demikian, penuntutan terhadap koruptor tidak dihapus meski pelaku telah mengembalikan hasil pidana korupsi yang dilakukannya.

Wacana pemberian amnesti terhadap koruptor asal mengembalikan uang hasil korupsinya bisa dibaca sebagai keputusasaan pemerintah mengatasi persoalan korupsi. Namun, bisa jadi kebijakan ini bukan hal yang mustahil asal pemerintah berani menindaklanjutinya dengan ketentuan tegas soal pelaporan harta kekayaan, pembuktian terbalik atas kekayaan yang tak wajar, hingga perampasan aset.

Saat amnesti diberikan, pemerintah menutup mata terhadap perolehan kekayaan penyelenggara negara dan penegak hukum di masa lalu. Namun, mereka harus melaporkan kekayaannya secara jujur kepada negara.

Dengan demikian, setelah amnesti diberikan, jika di masa depan ternyata ada penyelenggara negara atau penegak hukum yang memiliki harta kekayaan tak sesuai dengan profil resmi penghasilannya, negara harus bisa langsung merampasnya.

Bagi pejabat yang bersangkutan, dia harus membuktikan secara terbalik di pengadilan bahwa dia memperoleh kekayaan secara wajar atau sah. Apakah pemerintah berani menerapkan ketentuan tegas seperti ini demi memberantas dan mencegah korupsi di masa depan? Hanya Tuhan yang tahu.

Dewan Perwakilan Rakyat menanti penjelasan dari pemerintah terkait rencana pemberian amnesti dan abolisi bagi para koruptor yang kini tengah dikaji persyaratannya. Namun, sebelum rencana itu direalisasikan, akan lebih baik jika pemerintah mengusulkan rancangan undang-undang tentang amnesti dan abolisi terlebih dahulu kepada DPR. Regulasi itulah yang nantinya menjadi payung hukum pemberian pengampunan bagi koruptor ataupun terpidana kasus narkoba.

Anggota Komisi III DPR, Benny K Harman, mengatakan, rencana Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada koruptor memang tidak melanggar konstitusi. UUD 1945 telah mengatur kewenangan Presiden dalam memberikan grasi, amnesti, dan abolisi.

Namun, korupsi sepatutnya diletakkan dalam konteks kejahatan luar biasa. Oleh karena itu, semestinya pelaku korupsi tidak diberikan amnesti ataupun abolisi.

”Kalau Bapak Presiden punya keinginan untuk melakukan pengampunan atau amnesti, beliau harus mengajukan rancangan undang-undangnya,” kata Benny, Minggu (22/12/2024).

Presiden Prabowo Subianto melontarkan rencana pemberian maaf kepada koruptor di sela-sela kunjungan kerjanya di Kairo, Mesir, Kamis (19/12/2024). Namun, amnesti dan abolisi akan diberikan dengan syarat pelaku korupsi mengembalikan uang hasil kejahatan kepada negara.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, pemberian maaf kepada koruptor itu merupakan bagian dari rencana pemberian amnesti kepada 44.000 narapidana. Menurut dia, ada ribuan koruptor berpeluang untuk mendapatkan amnesti dari Presiden.

Benny mengungkapkan, Presiden memang berhak memberikan pengampunan kepada narapidana. Amnesti dan abolisi itu diberikan oleh Presiden dengan pertimbangan dari DPR.

Kalau Bapak Presiden punya keinginan untuk melakukan pengampuan atau amnesti, beliau harus mengajukan rancangan undang-undangnya.

Meski demikian, kata Benny, pengampunan itu harus diberikan berdasarkan undang-undang yang mengatur lebih rinci mengenai pemberian amnesti dan abolisi. Sebab, kebijakan tersebut juga akan berdampak terhadap penegakan hukum dan keadilan di Indonesia.

Oleh karena itu, Benny meminta pemerintah terlebih dahulu menyusun rancangan undang-undang tentang amnesti dan abolisi serta mengusulkan pembahasan bersama dengan DPR. Regulasi itulah yang nantinya menjadi payung hukum bagi pemberian amnesti dan abolisi.

Indonesia memang telah memiliki regulasi yang mengatur tentang amnesti dan abolisi, yakni Undang-Undang Darurat RI Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi. Akan tetapi, undang-undang yang disahkan Presiden Soekarno pada 27 Desember 1954 itu baru mengatur pemberian amnesti dan abolisi bagi semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda (Pasal 2).

Rugikan rakyat

Pemberian amnesti kepada koruptor juga pernah dilakukan di sejumlah negara. Mantan Presiden Peru Alberto Fujimori, misalnya, diberi ampunan setelah dipenjara selama 25 tahun karena kasus korupsi dan pelanggaran HAM dengan alasan kemanusiaan.

Meski demikian, Benny mengingatkan, pemberian amnesti terhadap koruptor itu, meskipun dengan syarat pengembalian kerugian negara, akan menimbulkan dampak negatif. Pengampunan kepada koruptor merugikan rakyat dalam mendapatkan hak keadilan. Rakyat yang menjadi korban kasus korupsi akan merasa diperlakukan tidak adil. Hal itu bisa pula berdampak pada turunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Selain itu, amnesti juga bisa membuat lesu agenda pemberantasan korupsi. Publik bisa semakin permisif terhadap perilaku koruptif karena bisa diampuni. ”Amnesti tidak akan menghentikan pertumbuhan korupsi karena tidak membuat orang jera untuk melakukan korupsi,” ujarnya.

Baca JugaPrabowo Lempar Wacana Maafkan Koruptor Asal Kembalikan Uang Korupsi

Politikus Partai Demokrat itu juga mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas pemberian amnesti dan abolisi terhadap koruptor. Siapa dan kasus apa yang bisa diampuni itu juga harus jelas. Kebijakan amnesti itu pun idealnya hanya diberikan satu kali, berlaku sekaligus, dan tidak terus-menerus.

Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, menambahkan, semangat Presiden Prabowo untuk mengembalikan kerugian keuangan negara akibat korupsi patut didukung. Walakin, pemerintah dan DPR perlu melakukan sinkronisasi dan harmonisasi agar uang jarahan para koruptor itu bisa kembali tanpa melabrak aturan yang ada.

Salah satu yang perlu dipertimbangkan adalah membuat regulasi tentang perampasan aset. ”Pemerintah dan DPR juga perlu memikirkan soal aturan perampasan aset bagi pelaku tindak pidana korupsi dan kejahatan umum lainnya yang berdampak luas terhadap perekonomian negara,” katanya.

Nasir berharap Presiden Prabowo juga bisa menekan korupsi di sektor sumber daya alam yang kebocorannya sangat besar. Bahkan, uang hasil korupsinya kerap dibawa kabur ke luar negeri.

Sebelumnya, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menghargai niat baik Presiden Prabowo untuk mengajak koruptor bertobat dan mengoptimalkan pemulihan aset hasil korupsi. Namun, ia berkeberatan jika cara yang ditempuh melalui amnesti dan abolisi bagi koruptor.

Alasannya, selama ini amnesti dan abolisi diberikan untuk konteks pengampunan terhadap pelaku kejahatan politik seperti separatisme. Tujuan pemberian amnesti dan abolisi itu adalah untuk rekonsiliasi pascakonflik. ”Jadi, sangat tidak tepat kalau kemudian ini ditujukan untuk para pelaku tindak pidana korupsi,” katanya.

Amnesti dan abolisi untuk koruptor juga tidak tepat karena belum tentu kerugian negara yang diakibatkan kembali semuanya. Selain itu, kebijakan tersebut justru memberikan sinyal buruk pemberantasan korupsi karena koruptor akan merasa ada cara untuk bisa terbebas dari pidana.

Zaenur pun menilai bahwa dampak yang ditimbulkan dari kebijakan amnesti dan abolisi akan jauh lebih buruk daripada manfaatnya. Jika Presiden Prabowo ingin memulihkan aset dampak korupsi, sebenarnya ada cara lain yang bisa ditempuh, yaitu mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset dan revisi UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur illicit enrichment atau penindakan kasus-kasus penambahan kekayaan dari pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan sumber atau asal-usulnya.

Prabowo mengatakan, selama dua bulan menjabat sebagai Presiden, sudah banyak koruptor yang ditangkap. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir, Prabowo telah memberi kesempatan kepada koruptor untuk bertobat.

"Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam supaya nggak ketahuan," ujar Prabowo saat pertemuan dengan mahasiswa Indonesia di Universitas Al Azhar di Mesir yang ditayangkan Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (19/12/2024).

"Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan. Tapi kembalikan dong. Nanti kita beri kesempatan cara mengembalikannya, bisa diam-diam supaya nggak ketahuan"

Taat pada hukum

Lebih jauh, Prabowo mengingatkan penyelenggara negara yang menerima fasilitas dari bangsa dan negara agar membayar kewajibannya. Mereka harus taat pada hukum yang berlaku.

"Asal kau bayar kewajibanmu, taat kepada hukum, sudah, kita menghadap masa depan, kita tidak ungkit-ungkit yang dulu. Tapi kalau kau bandel terus, apa boleh buat. Kita akan menegakkan hukum," tandas Presiden.

Baca JugaPresiden Prabowo Beri Kesempatan Koruptor Tobat, PDI-P: Jangan Kasih Ampun, Mereka Harus Dihukum

Prabowo juga menyinggung aparat agar setia kepada bangsa, negara, dan rakyat. Prabowo bahkan tidak segan untuk membersihkan aparat yang setia pada pihak lain. Presiden pun meyakini langkah tersebut bakal didukung oleh rakyat.

Berbahaya dan bertentangan

Secara terpisah, Peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai, ide yang dilempar oleh Presiden Prabowo mungkin memiliki tujuan yang baik. Tetapi, wacana tersebut justru berbahaya dan bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam Pasal 4 UU 31/1999 juncto UU 20/2021 tentang Tipikor disebutkan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus pidana. Dengan demikian, penuntutan terhadap koruptor tidak dihapus meski pelaku telah mengembalikan hasil pidana korupsi yang dilakukannya.

"Secara hukum, saat ini tidak boleh ada pelaku tindak pidana korupsi yang tidak diproses hanya karena mengembalikan kerugian keuangan negara"

Dari sisi hukum, pengembalian kerugian negara mungkin akan berpengaruh terhadap tuntutan yang akan diajukan oleh jaksa penuntut umum maupun vonis yang akan dijatuhkan oleh hakim. Pengembalian uang negara itu bisa menjadi alasan yang meringankan karena dapat menjadi salah satu bentuk sikap kooperatif.

"Secara hukum, saat ini tidak boleh ada pelaku tindak pidana korupsi yang tidak diproses hanya karena mengembalikan kerugian keuangan negara.," ujar Zaenur.

Sementara secara praktik, lanjutnya, tidak mungkin pelaku tindak pidana korupsi mau mengembalikan uang yang dikorupsi hanya karena kata-kata, sekalipun keluar dari Presiden. Koruptor hanya akan gentar dengan penindakan. Karena selama ini, mereka menganggap sudah lolos dari jeratan aparat penegak hukum.

Sinyal buruk

Zaenur menilai, janji-janji pengampunan dari Presiden justru sangat berbahaya. Sebab wacana itu dapat dianggap sebagai sinyal pemberian insentif kepada koruptor. "Justru bakal memunculkan anggapan bahwa tidak apa-apa korupsi, karena ternyata bisa diampuni. Itu menjadi sinyal yang buruk, tuturnya.

Justru yang dibutuhkan saat ini adalah  penindakan yang tegas dan keras kepada  pelaku tindak pidana korupsi menggunakan instrumen hukum yang sudah tersedia. Penindakan dilakukan secara kolaboratif oleh aparat penegak, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan KPK

Justru yang dibutuhkan saat ini adalah  penindakan yang tegas dan keras kepada  pelaku tindak pidana korupsi menggunakan instrumen hukum yang sudah tersedia. Penindakan dilakukan secara kolaboratif oleh aparat penegak, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan KPK.

Zaenur melanjutkan, wacana memaafkan koruptor bisa saja dilempar untuk mereformulasi pemidanaan terkait dengan tindak pidana korupsi. Mengingat pengembalian kerugian negara oleh pelaku tindak pidana korupsi mungkin bisa dilakukan, sepanjang UU Tipikor diubah.

Namun demikian, ia mengingatkan bahwa secara konsep, pelaku perorangan tidak bisa diampuni meskipun sudah mengembalikan uang ke negara. Pihak yang dapat pengampunan hanyalah pelaku tindak pidana korupsi dalam bentuk korporasi melalui Deferred Prosecution Agreement.

Ia mencontohkan, negara seperti Inggris telah menerapkan konsep tersebut dalam menindak pelaku korupsi dari korporasi. Ketika kasus suap Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar yang melibatkan Rolls-Royce, korporasi di Inggris tersebut tidak dituntut karena mengembalikan suap sekaligus membayar denda yang jumlahnya sangat tinggi.

”Mereka merasa tak bersalah. Merasa kalau proyek untung besar itu haknya. Atau ketika dana-dana yang lain ditilep atau apa, itu merasa upahnya. Nggak mungkin rasanya akan mengaku dan menyerahkan (uang yang dikorupsi) kepada pemerintah sesuai anjuran Pak Prabowo. Wong diproses hukum saja mereka mangkir”

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia atau MAKI, Boyamin Saiman, mengaku tidak dalam posisi untuk mendukung ataupun menolak gagasan Presiden Prabowo untuk mengampuni para koruptor asalkan mengembalikan kerugian keuangan negara. Hanya saja, ia mempertanyakan efektivitas imbauan tersebut. Sebab, pada dasarnya para pelaku korupsi punya kecenderungan untuk tidak mengakui perbuatannya meskipun dibawa ke persidangan.

“Bagaimana caranya koruptor seakan-akan diambil hatinya supaya mengembalikan uang yang dicurinya. Mereka merasa tidak bersalah kok. Merasa bahwa kalau proyek untung besar itu haknya. Atau ketika dana-dana yang lain ditilep atau apa, itu merasa memang upahnya. Nggak mungkin rasanya akan mengaku dan menyerahkan (uang yang dikorupsi) kepada pemerintah sesuai anjuran Pak Prabowo. Wong diproses hukum saja mereka masih mangkir,” kata Boyamin.

”Gimik”, murah meriah

Meskipun demikian, menurut dia, cara Prabowo untuk mengampuni para koruptor sebagai sebuah strategi dalam upaya menarik kembali uang yang dikorupsi secara hukum memungkinkan untuk dilaksanakan.

“Mudah-mudahan barang kali dengan seruan itu, dan Pak Prabowo juga tegas dalam urusan penegakan hukum korupsi, terus mereka takut lalu mengembalikan uangnya. Ini kan cara murah meriah daripada sidang dan belum tentu uang kembali, hanya memenjarakan orang. Ini memang cara murah meriah, tapi sulit pelaksanaannya,” tambahnya. Disebut murah meriah karena cara tersebut  menghindarkan pengeluaran untuk biaya menangani perkara atau penegakan hukum korupsi.

”Bahkan, cukup banyak mereka-mereka yang di sekeliling Prabowo tak patuh terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Jadi, kalau di sekitar atau sekelilingnya saja nggak serius dibenahi, menurut saya pernyataan itu tidak lebih dari gimik (gimmick, mengelabui)”

Herdiansyah Hamzah, aktivis antikorupsi dan  pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, menilai, pernyataan Presiden Prabowo hanya sekadar gimik belaka. Apabila Prabowo memang serius menjadi barisan paling depan dalam pemberantasan korupsi, maka dia akan memulainya dari pemilihan menteri di kabinet atau orang-orang di sekelilingnya.

“Tapi faktanya bahkan di dalam kabinet, orang-orang di sekeliling Pak Prabowo, itu banyak yang bermasalah dan tersangkut paut dengan korupsi. Bahkan, cukup banyak mereka-mereka yang di sekeliling Prabowo tidak patuh terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). Jadi, kalau di sekitar atau sekelilingnya saja nggak serius dibenahi, menurut saya pernyataan itu tidak lebih dari gimik (gimmick, mengelabui),” katanya.

Baca JugaPengembalian Uang Korupsi Tak Hapus Pidana, Jaksa Minta Achsanul Qosasi Tetap Dituntut  5 Tahun

Berkenaan dengan rencana pengampunan koruptor, Herdiansyah menilai Prabowo gagal paham terhadap norma di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya Pasal 4 yang menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus tidnak pidana yang dilakukan.

"Jadi keliru besar kalau Pak Prabowo menyatakan sepanjang mengambalikan kerugian negara, maka akan diampuni. Itu bpernyataan yang menurut saya seolah-olah Prabowo gagal paham terhadap UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi,  khususnya di Pasal 4,” ujarnya.


Cookies Injector