Nama Pastor Simon Suban Tukan SVD tidak asing di kalangan masyarakat Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur. Simon gencar menyuarakan perusakan lingkungan akibat penambangan, pembangunan jalan, dan pengabaian hak-hak masyarakat adat selama 18 tahun. Ia bersuara lantang di tengah kerusakan lingkungan Manggarai Raya yang makin parah.
Serial Artikel
PHRI Says Discussion at Grand Kemang Fulfilled Crowd Permit
Thuggery disrupts citizens' freedom and tarnishes Indonesia's friendly reputation in the eyes of the world.
Pastor Simon tidak menolak pembangunan, tetapi kesewenang-sewenangan itu yang ia lawan. Simon saat dihubungi di Ruteng, ibu kota Manggarai, Rabu (7/12/2022), mengatakan, panggilan memperjuangkan kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat sudah muncul sejak di bangku pendidikan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Flores, 1992-1998. Tahbisan imam diterima Simon medio 1999. Seusai tahbisan di bawah Kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD), Simon langsung terlibat menangani ribuan pengungsi Timor Timur di Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Belu selama 6 bulan.
Ia pula yang memfasilitasi kepulangan ribuan pengungsi ke negara asal seusai kekacauan di negara tetangga itu. Karena memiliki kepedulian pada masalah kemanusiaan, pimpinan SVD Ruteng mendorong Simon mengambil program magister hukum di Universitas Gadjah Mada, DI Yogyakarta. Kembali ke Ruteng, 2004, dia diberi kepercayaan menangani masalah-masalah lingkungan, hukum, dan hak-hak masyarakat sipil. Tugas berat itu terkait kehadiran sejumlah perusahaan tambang di Manggarai Raya sejak 1980-an.
Ia menyebutkan, pada masa Orde Baru izin usaha tambang begitu mudah, bahkan kawasan hutan lindung pun dirusak dan hak-hak masyarakat diabaikan.
”Bicara dan berjuang soal itu, langsung ditangkap. Apalagi kita tidak mengerti hukum,” kata Simon. Ia mulai memberi edukasi kepada semua elemen masyarakat tentang dampak buruk dari kerusakan lingkungan akibat tambang.
Simon bertemu Uskup Ruteng, Bupati, DPRD, tokoh adat, tokoh masyarakat, para pastor, tokoh pemuda, LSM peduli lingkungan, dan sejumlah mahasiswa. Ia membangun koordinasi dan pemahaman yang sama soal lingkungan. Tahun 2006 berdiri komisi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (JPIC) Ruteng, di bawah kongregasi SVD. Simon menjadi koordinator. Saat itu Manggarai Raya belum terbentuk. Melalui JPIC, Simon mulai unjuk gigi. Selain menjalani tugas sebagai pastor, tugas berat lain ialah menjaga lingkungan, mengadvokasi masyarakat, dan mendorong penegakan hak-hak mereka.
Tambang
Ia mempelajari sejarah kehadiran tambang di Manggarai. Tahun 1979-1980 misalnya, di Nggarong, Desa Bajak, Kecamatan Reok, Manggarai, sudah sekitar 50 perusahaan pertambangan masuk-keluar melakukan penyelidikan umum di wilayah tersebut.
Di situ terdapat potensi mangan cukup besar, yang kemudian dibuktikan dengan hasil temuan JPIC SVD Ruteng. Ada sekitar 50 titik potensi tambang mangan di seluruh Manggarai, antara lain di Golo Rawang, Mokat, Muwur, Golo Kantul, Jong, Maki, Nggilat, Reok, dan Reok Barat.
Selain mangan juga ada potensi emas dan pasir besi di sana. Sejak 1980-2014 kegiatan pertambangan di Manggarai Raya sangat marak, dengan eksploitasi total luas lahan yang dikuasai perusahaan swasta 76.656 ha. Tahun 2007, Kabupaten Manggarai Timur terbentuk, pisah dari Manggarai induk. Kemudian Manggarai Barat hadir pada 1982 dengan sebutan wilayah kerja pembantu bupati Manggarai, dan resmi menjadi daerah otonom tahun 2003. Masyarakat menyebut Manggarai Raya.
Luas hutan Manggarai Raya sekitar 76.125 hektar, terdiri dari hutan lindung dan hutan rakyat. Kehadiran tiga kabupaten ini mendorong Simon harus berbagi tenaga, waktu, dan personel, terutama menghadapi tiga kepala daerah dan lembaga DPRD masing-masing. Masyarakat adat dan elemen masyarakat lain sudah terjalin sejak 2004, sebelum dua kabupaten itu terbentuk.
Kebanyakan masyarakat belum paham soal tambang dengan dampak-dampaknya. ”Mereka diam saat tanah adat digusur dengan alat berat, dan tidak menuntut apa pun dari pengusaha dan pemerintah.”
Tahun 2006, Simon diajak warga mengunjungi lokasi tambang di Serise dan Lengko Lolok. Ia menyaksikan ibu-ibu pekerja tambang bekerja di bawah terik matahari, memisahkan batu gamping dari mangan. Pekerja lain membongkar mangan dari dalam lubang penambangan dengan kedalaman sampai 5 meter, kemudian membentuk terowongan ke sisi kiri-kanan.
Lubang menganga di mana-mana, bukit-bukit dihancurkan, tanaman warga dibongkar, dan tanaman yang masih hidup di sekitar lokasi tambang tampak hitam karena debu mangan melekat. Debu beterbangan karena truk lalu lalang mengangkut material mangan dan gamping. Sumber air yang selama itu dikonsumsi warga menjadi hitam kelam karena debu mangan.
Hutan sekitar ditebang dan dibakar. Keselamatan lebih dari 300 pekerja itu sangat memprihatinkan. Mereka tidak memakai masker, sepatu, kaus tangan, dan helm. Helm kerja hanya dipakai oleh para mandor yang berjaga.
Simon mengutus dua aktivis muda, yakni Esty (21) dan Nelty (23), ke Desa Satar Punda dan beberapa desa lain, tempat perusahaan beroperasi. Mereka mengumpulkan data, foto, mewawancarai masyarakat, aparat desa, tokoh adat, dan pekerja tambang.
Hasil investigasi mengejutkan semua anggota JPIC SVD saat itu, di Manggarai Raya, Indonesia, dan anggota JPIC SVD internasional. Terjadi kerusakan lingkungan secara masif akibat penambangan itu, dan sulit dipulihkan. Hak-hak masyarakat diabaikan, termasuk keselamatan ratusan pekerja yang ada.
Saat itu ditemukan 37 izin kuasa pertambangan dari pemerintah bagi 22 perusahaan. Kegiatan pertambangan dilakukan sewenang-wenang. Terjadi pengambilalihan sepihak lahan-lahan yang sedang diolah warga, dengan melakukan penggusuran tanaman padi, jagung, pisang, umbi-umbian, hutan kopi, mete, kelapa, kemiri, cengkeh, dan vanili, bahkan pondok warga di lahan itu. Petani sangat tergantung pada jenis-jenis komoditas itu. Total kerusakan lahan mendekati 3.000 hektar saat itu.
Simon pantang menyerah. Ia menyurati Komnas HAM di Jakarta. Simon mendesak agar dilakukan moratorium terhadap penambangan yang merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak para pekerja lokal. Perjuangan itu akhirnya sedikit mencapai titik terang. Moratorium tambang disetujui.
”Ada 14 moratorium dikeluarkan. Selain tekanan masyarakat, semua perusahaan pertambangan di sana tidak memenuhi persyaratan pemerintah, yakni memiliki smelter pengolahan mangan di lokasi itu,” ujar Simon.
Simon Suban Tukan SVD
Lahir: Lewotala, Flores Timur, 16 Mei 1970
Pendidikan Terakhir: Magister
Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nama Pastor Simon Suban Tukan SVD tidak asing di kalangan masyarakat Manggarai Raya, Nusa Tenggara Timur. Simon gencar menyuarakan perusakan lingkungan akibat penambangan, pembangunan jalan, dan pengabaian hak-hak masyarakat adat selama 18 tahun. Ia bersuara lantang di tengah kerusakan lingkungan Manggarai Raya yang makin parah.
Serial Artikel
PHRI Says Discussion at Grand Kemang Fulfilled Crowd Permit
Thuggery disrupts citizens' freedom and tarnishes Indonesia's friendly reputation in the eyes of the world.
Pastor Simon tidak menolak pembangunan, tetapi kesewenang-sewenangan itu yang ia lawan. Simon saat dihubungi di Ruteng, ibu kota Manggarai, Rabu (7/12/2022), mengatakan, panggilan memperjuangkan kelestarian lingkungan dan hak-hak masyarakat sudah muncul sejak di bangku pendidikan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere, Flores, 1992-1998. Tahbisan imam diterima Simon medio 1999. Seusai tahbisan di bawah Kongregasi Serikat Sabda Allah (SVD), Simon langsung terlibat menangani ribuan pengungsi Timor Timur di Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Belu selama 6 bulan.
Ia pula yang memfasilitasi kepulangan ribuan pengungsi ke negara asal seusai kekacauan di negara tetangga itu. Karena memiliki kepedulian pada masalah kemanusiaan, pimpinan SVD Ruteng mendorong Simon mengambil program magister hukum di Universitas Gadjah Mada, DI Yogyakarta. Kembali ke Ruteng, 2004, dia diberi kepercayaan menangani masalah-masalah lingkungan, hukum, dan hak-hak masyarakat sipil. Tugas berat itu terkait kehadiran sejumlah perusahaan tambang di Manggarai Raya sejak 1980-an.
Ia menyebutkan, pada masa Orde Baru izin usaha tambang begitu mudah, bahkan kawasan hutan lindung pun dirusak dan hak-hak masyarakat diabaikan.
”Bicara dan berjuang soal itu, langsung ditangkap. Apalagi kita tidak mengerti hukum,” kata Simon. Ia mulai memberi edukasi kepada semua elemen masyarakat tentang dampak buruk dari kerusakan lingkungan akibat tambang.
Simon bertemu Uskup Ruteng, Bupati, DPRD, tokoh adat, tokoh masyarakat, para pastor, tokoh pemuda, LSM peduli lingkungan, dan sejumlah mahasiswa. Ia membangun koordinasi dan pemahaman yang sama soal lingkungan. Tahun 2006 berdiri komisi keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan (JPIC) Ruteng, di bawah kongregasi SVD. Simon menjadi koordinator. Saat itu Manggarai Raya belum terbentuk. Melalui JPIC, Simon mulai unjuk gigi. Selain menjalani tugas sebagai pastor, tugas berat lain ialah menjaga lingkungan, mengadvokasi masyarakat, dan mendorong penegakan hak-hak mereka.
Tambang
Ia mempelajari sejarah kehadiran tambang di Manggarai. Tahun 1979-1980 misalnya, di Nggarong, Desa Bajak, Kecamatan Reok, Manggarai, sudah sekitar 50 perusahaan pertambangan masuk-keluar melakukan penyelidikan umum di wilayah tersebut.
Di situ terdapat potensi mangan cukup besar, yang kemudian dibuktikan dengan hasil temuan JPIC SVD Ruteng. Ada sekitar 50 titik potensi tambang mangan di seluruh Manggarai, antara lain di Golo Rawang, Mokat, Muwur, Golo Kantul, Jong, Maki, Nggilat, Reok, dan Reok Barat.
Selain mangan juga ada potensi emas dan pasir besi di sana. Sejak 1980-2014 kegiatan pertambangan di Manggarai Raya sangat marak, dengan eksploitasi total luas lahan yang dikuasai perusahaan swasta 76.656 ha. Tahun 2007, Kabupaten Manggarai Timur terbentuk, pisah dari Manggarai induk. Kemudian Manggarai Barat hadir pada 1982 dengan sebutan wilayah kerja pembantu bupati Manggarai, dan resmi menjadi daerah otonom tahun 2003. Masyarakat menyebut Manggarai Raya.
Luas hutan Manggarai Raya sekitar 76.125 hektar, terdiri dari hutan lindung dan hutan rakyat. Kehadiran tiga kabupaten ini mendorong Simon harus berbagi tenaga, waktu, dan personel, terutama menghadapi tiga kepala daerah dan lembaga DPRD masing-masing. Masyarakat adat dan elemen masyarakat lain sudah terjalin sejak 2004, sebelum dua kabupaten itu terbentuk.
Kebanyakan masyarakat belum paham soal tambang dengan dampak-dampaknya. ”Mereka diam saat tanah adat digusur dengan alat berat, dan tidak menuntut apa pun dari pengusaha dan pemerintah.”
Tahun 2006, Simon diajak warga mengunjungi lokasi tambang di Serise dan Lengko Lolok. Ia menyaksikan ibu-ibu pekerja tambang bekerja di bawah terik matahari, memisahkan batu gamping dari mangan. Pekerja lain membongkar mangan dari dalam lubang penambangan dengan kedalaman sampai 5 meter, kemudian membentuk terowongan ke sisi kiri-kanan.
Lubang menganga di mana-mana, bukit-bukit dihancurkan, tanaman warga dibongkar, dan tanaman yang masih hidup di sekitar lokasi tambang tampak hitam karena debu mangan melekat. Debu beterbangan karena truk lalu lalang mengangkut material mangan dan gamping. Sumber air yang selama itu dikonsumsi warga menjadi hitam kelam karena debu mangan.
Hutan sekitar ditebang dan dibakar. Keselamatan lebih dari 300 pekerja itu sangat memprihatinkan. Mereka tidak memakai masker, sepatu, kaus tangan, dan helm. Helm kerja hanya dipakai oleh para mandor yang berjaga.
Simon mengutus dua aktivis muda, yakni Esty (21) dan Nelty (23), ke Desa Satar Punda dan beberapa desa lain, tempat perusahaan beroperasi. Mereka mengumpulkan data, foto, mewawancarai masyarakat, aparat desa, tokoh adat, dan pekerja tambang.
Hasil investigasi mengejutkan semua anggota JPIC SVD saat itu, di Manggarai Raya, Indonesia, dan anggota JPIC SVD internasional. Terjadi kerusakan lingkungan secara masif akibat penambangan itu, dan sulit dipulihkan. Hak-hak masyarakat diabaikan, termasuk keselamatan ratusan pekerja yang ada.
Saat itu ditemukan 37 izin kuasa pertambangan dari pemerintah bagi 22 perusahaan. Kegiatan pertambangan dilakukan sewenang-wenang. Terjadi pengambilalihan sepihak lahan-lahan yang sedang diolah warga, dengan melakukan penggusuran tanaman padi, jagung, pisang, umbi-umbian, hutan kopi, mete, kelapa, kemiri, cengkeh, dan vanili, bahkan pondok warga di lahan itu. Petani sangat tergantung pada jenis-jenis komoditas itu. Total kerusakan lahan mendekati 3.000 hektar saat itu.
Simon pantang menyerah. Ia menyurati Komnas HAM di Jakarta. Simon mendesak agar dilakukan moratorium terhadap penambangan yang merusak lingkungan dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat, termasuk hak para pekerja lokal. Perjuangan itu akhirnya sedikit mencapai titik terang. Moratorium tambang disetujui.
”Ada 14 moratorium dikeluarkan. Selain tekanan masyarakat, semua perusahaan pertambangan di sana tidak memenuhi persyaratan pemerintah, yakni memiliki smelter pengolahan mangan di lokasi itu,” ujar Simon.
Simon Suban Tukan SVD
Lahir: Lewotala, Flores Timur, 16 Mei 1970
Pendidikan Terakhir: Magister
Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.