JAKARTA, KOMPAS โ Keserentakan penyelenggaraan pemilihan legislatif dan presiden serta pemilihan kepala daerah diminta untuk dikaji ulang. Keserentakan tak memudahkan pemilih dan merepotkan penyelenggara pemilu. Sejumlah kalangan pemerhati pemilu mengusulkan ada jeda waktu antara penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah.
Pada Rabu (26/2/2025), Komisi II DPR mulai mengundang sejumlah akademisi dan pegiat pemilu untuk memberi masukan terkait evaluasi Pemilu 2024, serta memberi saran terhadap rencana revisi Undang-Undang Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Mereka yang diundang adalah peneliti senior bidang politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Moch Nurhasim; dosen hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini; Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati; serta dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi.
Moch Nurhasim dalam paparannya mengatakan, ada sejumlah alasan perlunya mengatur ulang keserentakan pemilu di Indonesia. Salah satunya, biaya penyelenggaraan pemilu yang lebih efisien dengan menyerentakkan pemilihan legislatif dan presiden, ternyata tidak tercapai. Biaya tetap tinggi, sebagai contoh gelaran Pemilu 2024, anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp 76,6 triliun. Dua kali lipat lebih besar dari anggaran yang dikeluarkan untuk Pemilu 2019, sebesar Rp 33,73 triliun.