BerandaTutur VisualPerhelatan Iklim di Neger...

Perhelatan Iklim di Negeri Kaya Minyak

Dekarbonisasi pembangkitan energi harus jadi agenda utama pemerintahan baru, bekerja sama dengan sektor bisnis dan swasta.

Oleh Tim Harian Kompas

04 Des 2023 10:42 WIB · Tutur Visual

Ketika kita memasuki acara perjamuan di rumah orang kaya, pikiran kita bisa melayang ke mana-mana.

Bukan hanya kagum melihat pernik-pernik gedung dan makanan mewah yang sedang kita nikmati, kita mungkin juga berpikir dari mana saja dan bagaimana caranya tuan rumah mendapatkan semuanya ini.

Uni Emirat Arab (UEA), negara muda di jazirah Arab yang terdiri atas tujuh keemiran itu, selama dua pekan (30 November-12 Desember 2023) ini menjadi tuan rumah perhelatan iklim dunia, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties Ke-28 (COP28).

Kebetulan, pada 2 Desember, saat COP28 baru dimulai, UEA juga sedang merayakan Hari Nasional atau kemerdekaan yang diperoleh dari Britania Raya pada 1970. Tak heran jika Raja Charles III juga hadir.

Dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita 54.000 dollar AS, UEA termasuk 25 teratas negara berpenghasilan tinggi. Namun, emisi gas rumah kaca (GRK) per kapita negara penghasil minyak ini justru kecil karena pembeli dan pengguna minyak merekalah yang memproduksi GRK. Tak heran, lobi minyak jadi semakin kuat dan penundaan penurunan emisi makin kasatmata.

Negara kaya minyak itu ternyata jauh-jauh hari sudah menginvestasikan kekayaan dari kelimpahan sumber daya alam yang suatu hari akan habis itu. Sumber daya manusia mereka akan siap hidup tanpa minyak karena minyak segera digantikan energi baru dan terbarukan (EBT).

UEA setidaknya telah menginvestasikan 54 miliar dollar AS untuk EBT. Jumlah fantastis dan bisa dipastikan mereka tak akan bergantung pada mekanisme pendanaan Green Climate Fund (GCF). Sementara GCF sendiri untuk menghimpun 100 miliar dollar AS per tahun masih terseok-seok.

Negara kaya minyak itu ternyata jauh-jauh hari sudah menginvestasikan kekayaan dari kelimpahan sumber daya alam yang suatu hari akan habis itu.

Menunda penurunan emisi

Dengan investasi di EBT tersebut, tak berarti negara kaya minyak itu membeli teknologi. Mereka juga menguasai dan mengembangkannya sendiri.

Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung di Waduk Cirata yang baru-baru ini diresmikan Presiden Joko Widodo, misalnya, adalah teknologi yang dikembangkan Masdar, perusahaan konsorsium energi yang dimiliki oleh tiga perusahaan energi besar di UEA. Negara superkaya yang bergelimang kemakmuran minyak itu terus berusaha ”mencuci” (offsetting) emisinya di luar negeri.

Penurunan emisi dari peningkatan rosot (sink) GRK melalui sektor lahan akan segera jenuh. Hutan akan tercekik (chocked). Sumber emisi bahan bakar fosil harus segera dipangkas karena pembangkitan energi melalui bahan bakar fosil adalah yang paling bertanggung jawab dalam pemanasan global.

Ambisi penurunan emisi yang sudah luntur ini harus segera dilaporkan ke publik dalam global stock take (GST) atau inventarisasi global untuk mengukur kemajuan kolektif negara-negara dalam upaya penurunan pemanasan global melalui pelaporan Nationally Determined Contributions (NDC).

Pertanyaan besar, apakah tuan rumah COP28 yang beruntung ini (dan juga negara-negara teman dekat UEA yang mengambil keuntungan darinya) akan mengubah gaya hidupnya? Jangan-jangan perhelatan besar ini justru dipakai untuk memperkuat posisi tawar mereka dalam ”membeli” waktu (buying the time) agar net zero emission bisa ditunda?

UEA adalah salah satu dari lima negara Timur Tengah yang menyimpan separuh dari cadangan minyak dunia (1.729,7 miliar barel) setelah Arab Saudi, Iran, Irak, dan Kuwait. Diduga cadangan ini belum akan mengering dalam 27 tahun.

Dr Sultan al-Jaber, Presiden COP28 dan CEO raksasa minyak UEA, Adnoc Group, disinyalir akan menggunakan COP28 untuk melobi sedikitnya 27 negara pihak. Tidak semua negara industri dan negara berkembang, seperti Kolombia dan Mozambik, juga dilobi.


Cookies Injector