Alexander Fleming menemukan dirinya di masa depan dan tercengang dengan apa yang telah dilakukan manusia. Begitu banyaknya orang menenggak antibiotik yang sebenarnya tak mereka perlukan. Begitu banyak pula peternak menggunakan antibiotik untuk hewan ternak mereka xx.
Berselang 96 tahun sejak ia menemukan penisilin, antibiotik modern itu, Fleming termangu masygul. Kini kedokteran modern di ambang bencana, tak mampu mengatasi infeksi akibat bakteri yang kian digdaya.
Syahdan, monster tak kasat mata tengah bersiap melumat peradaban. Monster yang tak lain si kuman-super alias superbugs, bakteri yang menjadi kebal terhadap obat antibiotik. Padahal obat tersebut telah menyelamatkan banyak nyawa di masa perang di era kehidupan Fleming dahulu hingga dijuluki wonder drug, obat ajaib.
THEMOULDTHATCHANGEDTHEWORLD.COMSalah satu adegan dalam pementasan "The Mould That Changed The World" tentang Alexander Fleming, ilmuwan penemu antibiotik modern, penisilin di tahun 1928.
Begitulah salah satu adegan dalam teater musikal "The Mould That Changed The World" yang dibawakan oleh Charades Theater Company dari Edinburg, Inggris. Teater musikal tersebut telah berpentas di berbagai kota di Inggris dan Amerika Serikat sejak tahun 2018 dan akan terus menggelar tur pementasan.
Dikutip dari The New York Times, teater musikal tersebut berawal dari gagasan Meghan Perry, seorang ilmuwan sekaligus dokter ahli penyakit infeksi di Inggris. Ia menyampaikan ide kepada Direktur Artistik Charades Theater Robin Hiley untuk mengangkat isu resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) melalui tokoh Alexander Fleming dalam suatu pementasan teater.
Dengan demikian, Perry berharap, isu AMR menjadi lebih populer dan mudah dipahami kalangan awam. Sebab, AMR merupakan ancaman kesehatan global yang tak main-main dan harus diwaspadai sejak sekarang.
THEMOULDTHATCHANGEDTHEWORLD.COMTokoh ALexander Fleming dalam pementasan teater "The Mould That Changed The World"
AMR adalah kondisi ketika berbagai bakteri patogen menjadi kebal terhadap berbagai obat antibiotik yang sebelumnya dengan mudah dapat membunuhnya. Sementara, penemuan antibiotik baru berlangsung begitu lama. Tak sebanding dengan kecepatan bakteri bertransformasi menjadi kebal, terus bertambah banyak, dan menyebar.
Fenomena AMR kerap berujung kematian. Mengutip dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kematian akibat bakteri resisten atau bakteri-kebal diperkirakan 4,9 juta per tahun di dunia. Bahkan per 2050, diperkirakan terjadi 10 juta kematian setiap tahunnya akibat AMR.
Fenomena AMR bisa terjadi secara massif tak terlepas merupakan dampak dari penggunaan antibiotik secara ugal-ugalan oleh manusia. Baik di dunia kedokteran sebagai obat untuk manusia, maupun di dunia peternakan untuk dikonsumsi hewan ternak.
Nama antibiotik berakar dari bahasa Yunani. Berasal dari kata "anti" yang berarti melawan, dan "bios" yang berarti hidup. Dengan demikian, secara harafiah kata antibiotik berarti melawan sesuatu yang hidup, dalama hal ini bakteri patogen penyebab penyakit. Oleh karena itu, antibiotik bukanlah obat untuk membunuh virus. mengingat virus tidak tergolong sebagai mahluk hidup.
Lantas, bagaimana bakteri melawan balik antibiotik?
Tugas utama antibiotik adalah melawan kuman bakteri. Namun bakteri senantiasa melawan balik dan menemukan cara baru untuk bertahan hidup. Strategi pertahanan mereka disebut resistance mechanism atau mekanisme perlawanan. Hanya bakteri (kuman), bukan manusia, yang kebal terhadap antibiotik.
Ada setidaknya lima strategi bakteri dalam melawan antibiotik. Strategi pertama dengan mengubah atau membatasi akses masuk. Contohnya, bakteri gram negatif mempunyai lapisan luar (membran) yang melindunginya dari lingkungannya. Bakteri ini dapat menggunakan membran ini untuk secara selektif mencegah masuknya obat antibiotik.
Strategi kedua, yakni mengusir obat antibiotik. Contohnya, beberapa bakteri Pseudomonas aeruginosa dapat memproduksi pompa untuk membuang beberapa obat antibiotik penting, termasuk fluoroquinolones, beta-laktam, kloramfenikol, dan trimetoprim.
Strategi ketiga yakni menghancurkan antibiotik dengan enzim protein yang memecah obat. Contohnya, bakteri Klebsiella pneumoniae menghasilkan enzim yang disebut karbapenemase, yang memecah obat karbapenem dan sebagian besar obat beta-laktam lainnya.
Strategi keempat dengan mengubah target dari antibiotik sehingga obat tidak berfungsi dengan baik. Contohnya, bakteri Escherichia coli dengan gen mcr-1 dapat menambahkan suatu senyawa pada bagian luar dinding sel sehingga obat colistin tidak dapat menempel padanya.
Strategi kelima yakni dengan memintas efek antibiotik. Bakteri mengembangkan proses sel baru yang menghindari penggunaan target antibiotik. Contohnya, beberapa bakteri Staphylococcus aureus dapat memintas efek obat trimetoprim.
Yang juga mengkhawatirkan, bakteri yang resisten terhadap antibiotik dapat berbagi mekanisme resistensinya dengan bakteri lain yang belum terpapar antibiotik atau antijamur. Dengan demikian, bakteri yang telah resisten dapat "menularkan" kemampuan kebalnya kepada bakteri lainnya yang sebenarnya belum resisten terhadap antibiotik, melalui elemen genetik seluler..
Penggunaan antibiotik apa pun dapat menyebabkan resistensi antibiotik pada bakteri. Selain menularkan resistensinya dengan bakteri lain, bakteri-kebal tersebut kemudian dapat mewariskan sifat resistensinya dari generasi ke generasi.
Pada dasarnya, bakteri mengembangkan kemampuannya menjadi resisten atau kebal tak terlepas dari merupakan bagian dari mekanisme evolusi seleksi alami. Organisme yang lebih beradaptasi dengan lingkungannya mempunyai peluang lebih besar untuk bertahan hidup dan mewariskan gen yang membantu keberhasilannya itu. Proses ini yang menyebabkan organisme, dalam hal ini bakteri, berubah dan menyimpang seiring waktu.
Hanya saja, terbangunnya kemampuan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik, prosesnya tereskalasi secara massif akibat dari maraknya penyalahgunaan antibiotik di berbagai belahan dunia. Tak lama setelah penisilin diedarkan misalnya, bakteri Staphylococcus aures telah teridentifikasi menjadi resisten terhadap antibiotik modern pertama tersebut.
Penyalahgunaan tersebut misalnya, antibiotik kerap digunakan untuk mengobati penyakit yang bukan disebabkan infeksi bakteri, serta untuk terapi pencegahan yang tidak seharusnya. Selain sebagai terapi yang salah, penyalagunaan lainnya tentu saja penggunaan yang berlebihan, serta dosis yang tidak tepat.
Massifnya perkembangan bakteri-kebal di dunia tak terlepas dari tabiat kita dalam memperlakukan antibiotik, obat yang sangat berharga dalam peradaban modern manusia. Yang lebih memprihatinkan lagi, perilaku ugal-ugalan dalam menggunakan antibiotik tersebut tak hanya terjadi di masyarakat awam, namun juga di kalangan profesi yang seharusnya memahami persoalan itu lebih baik, yakni para tenaga kesehatan seperti dokter.
Selama ini, kalangan awam bisa jadi tak menyangka, penyebaran bakteri-kebal bisa berlangsung secara amat sederhana, berkelindan dengan keseharian hidup manusia. Bahkan sesederhana berkunjung ke rumah sakit, kita berpotensi terpapar bakteri-kebal yang justru banyak berkembang pesat di rumah sakit.
Infeksi terkait pelayanan kesehatan atau healthcare associated infections (HAIs) atau infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya.
Artinya, ketika masuk rumah sakit, pasien tidak sedang mengalami suatu infeksi dan tidak dalam masa inkubasi. Namun, pasien baru mendapatkan infeksi tersebut saat dirawat di rumah sakit atau dampaknya baru muncul setelah pasien keluar rumah sakit. Tak hanya pasien, semua tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit berpotensi terkena infeksi nosokomial tersebut.
Antibiotik adalah penemuan besar di abad ke-20 yang sampai hari ini masih amat berharga dalam dunia pengobatan modern. Dengan semakin nyatanya ancaman bakteri-kebal saat ini, sudah seharusnya perilaku buruk kita terhadap antibiotik diperbaiki.
Tanpa kesadaran untuk berubah, pandemi besar berikutnya niscaya akan menyambut kita kelak. Ketika tak ada lagi obat antibiotik yang mampu menyelamatkan manusia, kita memasuki era gelap dunia pengobatan, kembali seperti di abad pertengahan.
Menjaga antibiotik adalah upaya paling minimal kita semua dalam menyelamatkan masa depan.
Alexander Fleming menemukan dirinya di masa depan dan tercengang dengan apa yang telah dilakukan manusia. Begitu banyaknya orang menenggak antibiotik yang sebenarnya tak mereka perlukan. Begitu banyak pula peternak menggunakan antibiotik untuk hewan ternak mereka xx.
Berselang 96 tahun sejak ia menemukan penisilin, antibiotik modern itu, Fleming termangu masygul. Kini kedokteran modern di ambang bencana, tak mampu mengatasi infeksi akibat bakteri yang kian digdaya.
Syahdan, monster tak kasat mata tengah bersiap melumat peradaban. Monster yang tak lain si kuman-super alias superbugs, bakteri yang menjadi kebal terhadap obat antibiotik. Padahal obat tersebut telah menyelamatkan banyak nyawa di masa perang di era kehidupan Fleming dahulu hingga dijuluki wonder drug, obat ajaib.
THEMOULDTHATCHANGEDTHEWORLD.COMSalah satu adegan dalam pementasan "The Mould That Changed The World" tentang Alexander Fleming, ilmuwan penemu antibiotik modern, penisilin di tahun 1928.
Begitulah salah satu adegan dalam teater musikal "The Mould That Changed The World" yang dibawakan oleh Charades Theater Company dari Edinburg, Inggris. Teater musikal tersebut telah berpentas di berbagai kota di Inggris dan Amerika Serikat sejak tahun 2018 dan akan terus menggelar tur pementasan.
Dikutip dari The New York Times, teater musikal tersebut berawal dari gagasan Meghan Perry, seorang ilmuwan sekaligus dokter ahli penyakit infeksi di Inggris. Ia menyampaikan ide kepada Direktur Artistik Charades Theater Robin Hiley untuk mengangkat isu resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR) melalui tokoh Alexander Fleming dalam suatu pementasan teater.
Dengan demikian, Perry berharap, isu AMR menjadi lebih populer dan mudah dipahami kalangan awam. Sebab, AMR merupakan ancaman kesehatan global yang tak main-main dan harus diwaspadai sejak sekarang.
THEMOULDTHATCHANGEDTHEWORLD.COMTokoh ALexander Fleming dalam pementasan teater "The Mould That Changed The World"
AMR adalah kondisi ketika berbagai bakteri patogen menjadi kebal terhadap berbagai obat antibiotik yang sebelumnya dengan mudah dapat membunuhnya. Sementara, penemuan antibiotik baru berlangsung begitu lama. Tak sebanding dengan kecepatan bakteri bertransformasi menjadi kebal, terus bertambah banyak, dan menyebar.
Fenomena AMR kerap berujung kematian. Mengutip dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kematian akibat bakteri resisten atau bakteri-kebal diperkirakan 4,9 juta per tahun di dunia. Bahkan per 2050, diperkirakan terjadi 10 juta kematian setiap tahunnya akibat AMR.
Fenomena AMR bisa terjadi secara massif tak terlepas merupakan dampak dari penggunaan antibiotik secara ugal-ugalan oleh manusia. Baik di dunia kedokteran sebagai obat untuk manusia, maupun di dunia peternakan untuk dikonsumsi hewan ternak.
Nama antibiotik berakar dari bahasa Yunani. Berasal dari kata "anti" yang berarti melawan, dan "bios" yang berarti hidup. Dengan demikian, secara harafiah kata antibiotik berarti melawan sesuatu yang hidup, dalama hal ini bakteri patogen penyebab penyakit. Oleh karena itu, antibiotik bukanlah obat untuk membunuh virus. mengingat virus tidak tergolong sebagai mahluk hidup.
Lantas, bagaimana bakteri melawan balik antibiotik?
Tugas utama antibiotik adalah melawan kuman bakteri. Namun bakteri senantiasa melawan balik dan menemukan cara baru untuk bertahan hidup. Strategi pertahanan mereka disebut resistance mechanism atau mekanisme perlawanan. Hanya bakteri (kuman), bukan manusia, yang kebal terhadap antibiotik.
Ada setidaknya lima strategi bakteri dalam melawan antibiotik. Strategi pertama dengan mengubah atau membatasi akses masuk. Contohnya, bakteri gram negatif mempunyai lapisan luar (membran) yang melindunginya dari lingkungannya. Bakteri ini dapat menggunakan membran ini untuk secara selektif mencegah masuknya obat antibiotik.
Strategi kedua, yakni mengusir obat antibiotik. Contohnya, beberapa bakteri Pseudomonas aeruginosa dapat memproduksi pompa untuk membuang beberapa obat antibiotik penting, termasuk fluoroquinolones, beta-laktam, kloramfenikol, dan trimetoprim.
Strategi ketiga yakni menghancurkan antibiotik dengan enzim protein yang memecah obat. Contohnya, bakteri Klebsiella pneumoniae menghasilkan enzim yang disebut karbapenemase, yang memecah obat karbapenem dan sebagian besar obat beta-laktam lainnya.
Strategi keempat dengan mengubah target dari antibiotik sehingga obat tidak berfungsi dengan baik. Contohnya, bakteri Escherichia coli dengan gen mcr-1 dapat menambahkan suatu senyawa pada bagian luar dinding sel sehingga obat colistin tidak dapat menempel padanya.
Strategi kelima yakni dengan memintas efek antibiotik. Bakteri mengembangkan proses sel baru yang menghindari penggunaan target antibiotik. Contohnya, beberapa bakteri Staphylococcus aureus dapat memintas efek obat trimetoprim.
Yang juga mengkhawatirkan, bakteri yang resisten terhadap antibiotik dapat berbagi mekanisme resistensinya dengan bakteri lain yang belum terpapar antibiotik atau antijamur. Dengan demikian, bakteri yang telah resisten dapat "menularkan" kemampuan kebalnya kepada bakteri lainnya yang sebenarnya belum resisten terhadap antibiotik, melalui elemen genetik seluler..
Penggunaan antibiotik apa pun dapat menyebabkan resistensi antibiotik pada bakteri. Selain menularkan resistensinya dengan bakteri lain, bakteri-kebal tersebut kemudian dapat mewariskan sifat resistensinya dari generasi ke generasi.
Pada dasarnya, bakteri mengembangkan kemampuannya menjadi resisten atau kebal tak terlepas dari merupakan bagian dari mekanisme evolusi seleksi alami. Organisme yang lebih beradaptasi dengan lingkungannya mempunyai peluang lebih besar untuk bertahan hidup dan mewariskan gen yang membantu keberhasilannya itu. Proses ini yang menyebabkan organisme, dalam hal ini bakteri, berubah dan menyimpang seiring waktu.
Hanya saja, terbangunnya kemampuan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik, prosesnya tereskalasi secara massif akibat dari maraknya penyalahgunaan antibiotik di berbagai belahan dunia. Tak lama setelah penisilin diedarkan misalnya, bakteri Staphylococcus aures telah teridentifikasi menjadi resisten terhadap antibiotik modern pertama tersebut.
Penyalahgunaan tersebut misalnya, antibiotik kerap digunakan untuk mengobati penyakit yang bukan disebabkan infeksi bakteri, serta untuk terapi pencegahan yang tidak seharusnya. Selain sebagai terapi yang salah, penyalagunaan lainnya tentu saja penggunaan yang berlebihan, serta dosis yang tidak tepat.
Massifnya perkembangan bakteri-kebal di dunia tak terlepas dari tabiat kita dalam memperlakukan antibiotik, obat yang sangat berharga dalam peradaban modern manusia. Yang lebih memprihatinkan lagi, perilaku ugal-ugalan dalam menggunakan antibiotik tersebut tak hanya terjadi di masyarakat awam, namun juga di kalangan profesi yang seharusnya memahami persoalan itu lebih baik, yakni para tenaga kesehatan seperti dokter.
Selama ini, kalangan awam bisa jadi tak menyangka, penyebaran bakteri-kebal bisa berlangsung secara amat sederhana, berkelindan dengan keseharian hidup manusia. Bahkan sesederhana berkunjung ke rumah sakit, kita berpotensi terpapar bakteri-kebal yang justru banyak berkembang pesat di rumah sakit.
Infeksi terkait pelayanan kesehatan atau healthcare associated infections (HAIs) atau infeksi nosokomial merupakan infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya.
Artinya, ketika masuk rumah sakit, pasien tidak sedang mengalami suatu infeksi dan tidak dalam masa inkubasi. Namun, pasien baru mendapatkan infeksi tersebut saat dirawat di rumah sakit atau dampaknya baru muncul setelah pasien keluar rumah sakit. Tak hanya pasien, semua tenaga kesehatan yang bertugas di rumah sakit berpotensi terkena infeksi nosokomial tersebut.
Antibiotik adalah penemuan besar di abad ke-20 yang sampai hari ini masih amat berharga dalam dunia pengobatan modern. Dengan semakin nyatanya ancaman bakteri-kebal saat ini, sudah seharusnya perilaku buruk kita terhadap antibiotik diperbaiki.
Tanpa kesadaran untuk berubah, pandemi besar berikutnya niscaya akan menyambut kita kelak. Ketika tak ada lagi obat antibiotik yang mampu menyelamatkan manusia, kita memasuki era gelap dunia pengobatan, kembali seperti di abad pertengahan.
Menjaga antibiotik adalah upaya paling minimal kita semua dalam menyelamatkan masa depan.