Oleh Stephanus Aranditio, Helena Fransisca, Fransiskus Wisnu Wardhana Dhany
08 Okt 2024 17:04 WIB · opini
Jakarta mendekati usia lima abad. Tampuk kepemimpinan silih berganti dari Gubernur Suwirjo hingga kini Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono. Kepemimpinan terus berganti, tetapi macet tak jua beranjak dari Jakarta.
Kemacetan masih dan selalu jadi asupan sehari-hari warga yang beraktivitas di jalanan Ibu Kota. Tak sulit untuk menemukan simpul-simpul kemacetan yang kerap menggila saat jam sibuk.
Lalu lintas di Jalan S Parman, tepatnya dekat Stasiun Grogol hingga Universitas Trisakti, Jakarta Barat, saat jam sibuk antara pukul 08.00 hingga pukul 10.00, padat oleh kendaraan roda dua, roda empat, hingga truk bertonase berat.
Jalan bebas hambatan atau jalan tol pun tak lepas dari kepadatan lalu lintas. Dari pantauan Traffic Management Center Polda Metro Jaya, diketahui kepadatan lalu lintas kerap terjadi di ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek menuju arah Cawang, ruas Tol Halim menuju arah Pancoran, dan ruas Tol Dalam Kota (Cawang) menuju arah Pancoran.
Bahkan, tingkat kemacetan lalu lintas di Jakarta pada 2022 hingga 2023 hampir setara atau mendekati tingkat kemacetan pada 2019. Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya memperkirakan tingkat kemacetan di Ibu Kota saat ini sudah lebih dari 50 persen dibandingkan dengan masa sebelum pandemi Covid-19. Pada 2019, skor indeks kemacetan mencapai 53 persen.
Baca juga: HUT Ke-496 DKI, Masyarakat Bisa Menikmati Tarif Angkutan Umum Rp 1
Baca juga: HUT Ke-496 DKI, Masyarakat Bisa Menikmati Tarif Angkutan Umum Rp 1
Jika merujuk laporan Tomtom Traffic Index 2022, kemacetan Jakarta ada pada urutan ke-29 dunia. Tingkat kemacetan tersebut berdasarkan variabel jarak dan durasi tempuh, biaya perjalanan atau bensin, dan emisi karbon dioksida yang dihasilkan di 389 kota dari 56 negara di dunia.
Kemacetan Jakarta tak lepas dari daya tariknya. Warga dari kota atau wilayah sekitar Jakarta datang untuk berbagai aktivitas utamanya ekonomi. Mereka yang datang dengan kendaraan pribadi turut menyumbang kemacetan.
Menurut Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono, tingkat kemacetan yang kembali serupa dengan masa sebelum pandemi menunjukkan dua sisi Jakarta. Saat jalanan Ibu Kota macet, ada sisi positifnya, yakni ekonomi Jakarta tumbuh atau bangkit.
Sebelum
Sesudah
”Negatifnya, macet. Sekali lagi, itulah Jakarta. Artinya begini, mengentaskan kemacetan Jakarta itu tidak gampang juga,” ujar Heru saat wawancara khusus bersama Kompas, Kamis (15/6/2023), di Balai Kota DKI Jakarta.
Baca juga: Kemacetan dan Jebakan Negara Berkembang
Upaya mengatasi kemacetan di Jakarta dimulai dengan mengajak masyarakat untuk beralih ke transportasi umum. Pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan kota tetangga pun terus
menyiapkan beragam infrastruktur dan beragam kebijakan demi memudahkan dan mendorong warga beralih ke transportasi umum.
Pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan, hingga lahirnya beragam kebijakan dalam membangun transportasi umum di Ibu Kota sudah dimulai sejak 20 tahun lalu atau pada 2004. Tonggak penting penataan transportasi umum itu dimulai sejak era Gubernur Sutiyoso.
Saat era Sutiyoso, tepatnya 1 Februari 2004, Transjakarta resmi beroperasi di Ibu Kota. Transjakarta merupakan layanan angkutan umum dengan konsep bus rapid transit (BRT) yang beroperasi di jalur-jalur khusus atau koridor atau busway di median tengah jalan.
Transjakarta beroperasi bersamaan dengan diresmikannya Koridor 1 yang berawal dari Blok M hingga Stasiun Kota. Peluncuran Transjakarta saat itu dimulai ketika angkutan umum di Jakarta masih sangat minim. Dua tahun sebelum Transjakarta beroperasi, angkutan umum di Ibu Kota hanya 2,5 persen dari 3,8 juta mobil di Jakarta.
Tonggak awal lahirnya Transjakarta terus berkesinambungan. Setiap era kepemimpinan setelah Sutiyoso, gubernur yang pernah memimpin DKI Jakarta meninggalkan warisan penting dalam menata dan meningkatkan kualitas transportasi umum.
Baca juga: Menangkal Rabies Kembali ke Jakarta
Gubernur Fauzi Bowo memperluas jaringan layanan Transjakarta. Salah satunya dengan membangun dan mengoperasikan Koridor 9 yang meliputi Pinang Ranti-Pluit sepanjang 28,8 kilometer dan Koridor 10 yang meliputi Cililitan-Tanjung Priok sepanjang 19,4 kilometer.
Perluasan koridor bus Transjakarta terus berlanjut di era kepemimpinan Gubernur Joko Widodo hingga era Basuki Tjahaja Purnama. Basuki membangun Koridor 13 dari Mampang-Ciledug. Peresmiannya oleh Djarot Saiful Hidayat.
Jokowi dan Basuki turut berperan penting dalam mengeksekusi pembangunan proyek moda raya terpadu (MRT) Jakarta Fase l koridor Lebak Bulus-Bundaran HI. Peletakan batu pertama pembangunan MRT Fase I pada 10 Oktober 2013 di era Jokowi. Pengerjaannya berlanjut saat era Basuki.
Proses panjang pembahasan MRT hingga pembangunan akhirnya rampung. Peresmiannya oleh Presiden Jokowi pada 24 Maret 2019 dan dihadiri Gubernur Anies Baswedan.
Ketika era Anies, upaya penataan transportasi di Jakarta terus bergulir. Anies memperluas pembangunan jalur sepeda dan trotoar, hingga mewujudkan integrasi fisik antarmoda dan integrasi tarif pembayaran antarmoda angkutan umum.
Pembangunan dan penataan transportasi umum di Jakarta selama 20 tahun secara perlahan tetapi pasti mengubah wajah kota. Jakarta kini punya moda tranportasi umum paling maju dan canggih di Tanah Air.
Jakarta memiliki jaringan layanan BRT dan non-BRT Transjakarta. Keduanya terhubung dengan layanan MRT Jakarta, LRT Jakarta, dan KRL Jabodetabek sebagai simpul transit. Tak lama lagi, bakal hadir pula LRT Jabodetabek dan Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Semua moda yang tersedia dikonsepkan bakal saling terintegrasi dan terkoneksi.
Terlepas dari beragam moda transportasi yang kini mengubah Jakarta, pembangunan berkelanjutan sejak 2004, menjadikan Transjakarta sebagai moda transportasi publik yang menginspirasi.
Transjakarta, hingga Mei 2023, sudah memiliki 394,4 kilometer panjang koridor dan 2.326,3 km nonkoridor. Pelayanan Transjakarta pun didukung 19 operator dengan total armada tersedia mencapai 4.265 unit.
Cakupan layanan Transjakarta dari tahun ke tahun terus bertumbuh. Selama lima tahun terakhir atau dari 2018 hingga 2022, populasi layanan Transjakarta meningkat signifikan dari 63 persen menjadi 88,2 persen.
Demand-nya ada di mana, kami akan siapkan di situ.
Pada 2023, saat pandemi mulai mereda, Transjakarta kembali mencatatkan capaian baru, yakni penumpangnya kembali mencapai 1 juta orang setiap hari. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan Transjakarta bisa mencapai 4 juta penumpang di 2025.
Menurut Direktur Utama PT Transjakarta Welfizon Yusa, Transjakarta berupaya mencapai target tersebut dengan meningkatkan penumpang dan menambah jaringan-jaringan baru. Apalagi dengan perkembangan kota Jakarta dan daerah peyanggah, terdapat bangkitan-bangkitan baru yang memiliki potensi penumpang dan jaringan baru.
”Kami harus melihatnya demand-nya atau permintaannya. Demand-nya ada di mana, kami akan siapkan di situ,” kata Welfizon, Jumat (16/6/2023), di Jakarta Selatan.
Jakarta menginjak usia 496 tahun pada 22 Juni. Berbagai capaian di bidang transportasi umum masih belum mampu menyelesaikan persoalan kemacetan.
Cakupan angkutan umum boleh saja meningkat, tetapi jumlah kendaraan pribadi terus bertumbuh. Mobil berpelat B Jakarta yang semula berjumlah 4,1 juta unit pada 2021 meningkat sekitar 6 juta unit pada 2023. Jumlah kendaraan bermotor juga bertambah dari 16,5 juta unit menjadi sekitar 20 juta unit pada 2023.
Seiring pertambahan usia tersebut Jakarta mencanangkan untuk berkembang sebagai kota global, pusat bisnis, dan investasi karena akan beralihnya status Ibu Kota ke Nusantara, Kalimantan Timur, pada 2024. Atas pencanangan itu maka salah satu pembangunan di Jakarta akan berorientasi transit.
Ketua Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) DKI Jakarta Yusa Cahya Permana mengatakan, Ibu Kota Negara berpindah atau tidak, pengembangan berbasis transit tak bisa dihindari. Meski demikian, menata transportasi umum Jakarta agar saling terintegrasi dan terkoneksi tak pernah mudah. Jakarta masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.
”Jakarta itu berusaha membenahi, tertinggal lama. Jadi, konsep lama dari pembangunan berbasis kendaraan pribadi diubah menjadi kendaraan umum. Susahnya, tata kotanya sendiri tidak didesain untuk berbasis angkutan umum,” kata Yusa, saat dihubungi, Senin (19/6/2023), di Jakarta.
Upaya mengubah Jakarta menjadi kota berbasis transit harus dimulai dengan membenahi tata kota. Desain transportasi tak bisa lepas dari tata kota karena meski transportasi umum bagian dari kebutuhan dasar, tetapi pengembangannya tetap merujuk atau mengikuti kebutuhan lain.
Kalau kita mau berkelanjutan, integrasinya juga integrasi kebijakan.
Pembangunan berbasis transit dengan kemajuan yang cukup signifikan baru terlihat dalam sistem integrasi tarif. Integrasi tarif mampu mengakomodasi kebutuhan pengguna transportasi umum lantaran menghemat biaya atau pengeluaran.
”Namun, integrasi jadwal masih harus dikejar. Orang zaman sekarang menghitung waktu, keamanan, dan keselamatan. Jadi, integrasinya jangan hanya ditarif, tetapi harus segera dikejar kualitas dan kuantitas layanan, dan kehandalan,” ujarnya.
Pekerjaan rumah yang belum selesai, yakni berkaitan dengan waktu tunggu, jadwal yang kerap berganti hingga ketidaksetaraan kualitas layanan. Faktor-faktor tersebut dinilai masih jadi hambatan untuk menarik minat warga beralih ke transportasi umum. Hal yang harus dipahami, target yang ingin dicapai dari penataan transportasi publik, yakni memastikan pengguna kendaraan pribadi meninggalkan zona nyaman dan beralih ke angkutan publik.
Masalah lain yakni integrasi kebijakan. Pemerintah harus menerapkan kebijakan yang sifatnya berkelanjutan atau ada intervensi secara konsisten agar pengguna kendaraan pribadi tak mudah masuk ke pusat kota dengan kendaraan pribadi. Kebijakan-kebijakan dimaksud mulai dari penyiapan park and ride, tarif parkir, hingga menegakan regulasi wajib memiliki tempat parkir bagi pemilik kendaraan pribadi.
”Kalau kita mau berkelanjutan, integrasinya juga integrasi kebijakan. Memang berat karena harus terbiasa mendengarkan keluhan. Jadi, keluhan itu harus dianggap sebagai makanan sehari-hari yang wajar karena sedang bertransformasi. Masyarakatnya sendiri juga harus perlu dididik,” ujar Yusa.
Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetio Edi Marsudi juga menyatakan, pembangunan prasarana dan sarana transportasi Jakarta perlu terus dilanjutkan dan diperluas, dibarengi sistem layanan transit yang saling terkoneksi antarmoda.
”Selepas tak lagi menjadi Ibu Kota apakah macet Jakarta selesai? Tidak juga. Kita lihat Jakarta masih menjadi magnet bagi warga sekitar Jakarta untuk datang dan menggunakan kendaraan pribadi,” kata Edi.
Ia meyakini pembangunan angkutan umum yang masif dengan kualitas layanan yang bagus, serta diimbangi dengan berbagai kebijakan terkait penggunaan kendaraan pribadi seperti penyediaan kantung parkir di perbatasan dan tarif parkir tinggi akan mendorong orang mau menggunakan angkutan umum. Setahap demi setahap diharapkan bisa mengurangi tingkat kemacetan Jakarta.