Kejatuhan Assad dan Konstelasi Politik Timur Tengah

Jika pemimpin Suriah nanti dari Sunni dan pro-Amerika-Saudi, ini kekalahan politik bagi Iran vs Saudi dan Rusia vs AS.

Oleh Dony Afrizal

13 Des 2024 11:10 WIB · Opini

Bashar al-Assad adalah pemimpin dari negara-negara Arab yang berhasil mempertahankan kekuasaannya dari kelompok oposisi setelah gejolak Arab Spring pada 2011. The Arab Spring, yang bermula dari Tunisia, adalah gejolak politik yang membangkitkan gerakan people power dan ini mengakhiri kekuasaan dari pemimpin-pemimpin otoriter di negara kawasan kaya minyak tersebut.

Semangat awal dari the Arab Spring adalah demokratisasi. Oleh karena itu, jatuhnya pemimpin politik yang otoriter dilihat sebagai awal dari terbukanya pintu demokratisasi.

Presiden Tunisia Zein Al-Abidin Ben Ali (Ben Ali) yang berkuasa sejak 1987 terpaksa harus meninggalkan negaranya pada Januari 2011 karena aparat negara tidak lagi mampu membendung gerakan people power yang menuntut dirinya meletakkan jabatan kepresidenan. ”Virus” people power tersebar ke beberapa negara Arab lainnya, seperti Mesir, Libya, Bahrain, dan Suriah.

Hosni Mubarak, yang menjadi Presiden Mesir sejak 1981, juga tidak berdaya menghadapi demonstrasi yang memintanya mundur. Akhirnya, pada 14 Februari 2011, Mubarak meletakkan jabatan kepresidenan dan menyerahkan pemerintahan sementara kepada militer (Sahide, 2017). Di Libya, Moammar Khadafi juga lengser dari jabatannya, bahkan tewas dengan cara mengenaskan di tangan rakyatnya pada 20 Oktober 2011.

Baca juga: Akhir Rezim Assad di Suriah Setelah Berkuasa Lebih dari Separo Abad

Dari beberapa negara yang terkena dampak dari Arab Spring 2011, hanya Bashar al-Assad, Presiden Suriah, yang berhasil mempertahankan kekuasaannya di tengah kepungan dan serangan dari kelompok oposisi hingga satu dekade lebih Arab Spring berlalu. Walakin, keberhasilan Assad dalam memertahankan jabatannya sebagai Presiden Suriah harus dibayar mahal dengan perang saudara yang berkelanjutan yang seolah tak kunjung selesai.

Kurang lebih enam juta warga Suriah menjadi pengungsi di negara-negara tetangga. Turki adalah negara penerima pengungsi Suriah paling banyak, hampir empat juta jiwa. Keberadaan pengungsi Suriah di Turki juga menjadi masalah tersendiri untuk politik domestik Turki. Pemerintah Turki menerima kehadiran pengungsi dari Suriah, tetapi muncul penolakan dari masyarakat luas.Suriah dalam rivalitas AS versus Rusia

Keberhasilan Assad untuk mempertahankan jabatannya, tidak mengikuti jejak pemimpin negara Arab lainnya, tidak terlepas dari dukungan politik beberapa negara besar dan sekutu politiknya. Suriah adalah arena perebutan pengaruh negara-negara adidaya.

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, sejak awal konflik, Amerika Serikat telah hadir di sana dengan misi untuk menggulingkan Bashar al-Assad. Amerika juga banyak mendiskreditkan Assad di kancah politik global dan melalui media internasional. Selain itu, Amerika terlibat dalam memberikan dukungan bagi beberapa kelompok oposisi untuk melakukan perlawanan terhadap rezim Assad.

AS bekerja sama dengan Arab Saudi dan menjadikan Liga Arab sebagai alat politik untuk misi penggulingan Assad tersebut. Bahkan, Liga Arab sempat memberikan kursi perwakilan untuk Suriah di forum KTT Arab 2013 di Doha, Qatar, bagi kelompok oposisi.

Keterlibatan negara-negara besar bermain untuk menjaga kepentingan nasionalnya masing-masing menggiring Suriah ke dalam perang saudara.

Namun, upaya AS dan sekutunya di kawasan ini gagal menggulingkan Assad karena Assad juga mendapatkan dukungan dari Rusia, China, dan Iran. Iran, sejak revolusi Islam Iran 1979, menjadi salah satu pemimpin dari sekutu negara-negara di kawasan untuk melawan sekutu yang dibangun oleh Arab Saudi dengan Amerika sebagai aliansinya.

Suriah, di bawah Assad, adalah sekutu setia bagi Iran. Sementara bagi Rusia dan China, Iran dan Suriah adalah negara sekutu untuk melawan hegemoni AS di kawasan kaya minyak ini.

Dukungan dari ketiga negara itulah yang membuat rezim Assad mampu bertahan dan berperang dengan kelompok oposisi selama lebih dari 10 tahun lamanya (2011-2024). Sebaliknya, kelompok oposisi mampu bertahan dan seolah tidak kehabisan stamina untuk melancarkan serangan dan melawan rezim Assad karena mendapatkan dukungan dari dunia internasional.

Inilah yang menjadi faktor mengapa konflik ini berkepanjangan dan sulit untuk dicari jalan keluarnya. Keterlibatan negara-negara besar bermain untuk menjaga kepentingan nasionalnya masing-masing menggiring Suriah ke dalam perang saudara. Maka dari itu, konflik ini bukan hanya pertempuran antara rezim Assad dan pihak opisisi, melainkan juga pertempuran antara Amerika melawan Rusia, China, dan Iran.

Baca juga: Rusia Beri Suaka untuk Bashar al-Assad dan Keluarga

Kegagalan oposisi dalam menggulingkan rezim Assad juga berarti kegagalan AS melawan Rusia, China, dan Iran. Sebaliknya, apabila rezim Assad jatuh, itu juga berarti kekalahan bagi Rusia, China, dan Iran.

Khusus bagi Rusia, kekalahan Assad adalah juga kegagalan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membuktikan bahwa tesis dari Francis Fukuyama yang mengatakan bahwa jatuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an adalah akhir dari perang ideologi. Sebab, bagi Fukuyama, tidak ada lagi ideologi yang menyaingi kedigdayaan ideologi kapitalisme global yang dipimpin oleh AS.

Putin, pada sisi yang lain, sebenarnya ingin membuktikan kepada dunia bahwa Rusia sedang bangkit untuk merebut supremasi politik global dari genggaman AS. Suriah adalah medan pertempuran tersebut. Rakyat Suriah pun menjadi korban dari ambisi politik para aktor politik global yang tidak berkesudahan.


Cookies Injector