Kasih Orangtua, Penyala Prestasi Mereka

Prestasi atlet difabel tak lahir dari ketiadaan. Keringat dan kerja keras mereka bersenyawa dengan cinta luas orangtua.

Oleh Arga Yuda Permana

05 Mar 2025 11:57 WIB · Olahraga

Tikha (55) tak bisa menyembunyikan raut cemas dan gugup di wajahnya. Mulutnya juga tak berhenti merapal doa. Melihat sang anak, Muhammad Bintang Satria Herlangga, bertanding terasa seperti sedang ”berolahraga jantung”. Katanya, jantungnya berdegup kencang sekali.

Kendati Bintang sudah layak disebut atlet boccia level dunia dengan kesuksesan meraih medali perak di Paralimpiade Paris 2024, kekhawatiran dalam diri Tikha tetap ada. Tikha takut sang anak justru terbebani status itu sehingga tidak bisa tampil maksimal. Padahal, laga final nomor perorangan BC2 di Peparnas 2024itu sangat penting.

Saat Bintang akhirnya memastikan kemenangan atas Oki Al Imron (DKI Jakarta) di GOR FKOR UNS, Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (10/10/2024) itu, Tikha terharu. Anak yang didiagonis dokter cerebral palsy (keterbatasan koordinasi gerak disebabkan gangguan sistem otot dan saraf) pada 22 tahun lalu itu kini kembali membuktikan diri sebagai salah satu atlet boccia terbaik Indonesia. Anak yang dulu berkali-kali dicarikan sekolah reguler yang mau menampung itu kini menjadi atlet yang kaya prestasi.

”Mau level apa pun, prestasi di ajang apa pun, saya akan selalu bangga sama Mas Bintang. Tidak pernah saya tidak terharu. Rasanya, inilah rahasia Allah yang perlahan dibuka, rahasia di balik kondisi anak saya,” ucap Tikha dengan mata berkaca-kaca.

Kata Tikha, perjuangannya bertahun-tahun seperti terbayarkan melihat Bintang menemukan jalan terang untuknya sendiri. Tikha kerap teringat bagaimana tidak mudah menjadi orangtua dari anak penyandang disabilitas. Namun, dengan lika-liku yang dihadapi, Tikha tidak pernah menyerah.

Atlet boccia, Muhammad Bintang Satria Herlangga (berbaju merah), berfoto bersama ibu, bapak, dan adiknya selepas meraih medali emas Peparnas 2024 nomor individu BC2 di GOR FKOR UNS, Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (10/10/2024).
KOMPAS/REBIYYAH SALASAH
Atlet boccia, Muhammad Bintang Satria Herlangga (berbaju merah), berfoto bersama ibu, bapak, dan adiknya selepas meraih medali emas Peparnas 2024 nomor individu BC2 di GOR FKOR UNS, Surakarta, Jawa Tengah, Kamis (10/10/2024).

Saat masih tinggal di Bekasi, Jawa Barat, Tikha membawa Bintang terapi ke Jakarta Utara. Pernah juga ke Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Sering kali itu menyita waktu Tikha seharian.

Perjalanan tak mudah juga dirasakan ketika Tikha mencarikan sekolah reguler bagi Bintang. Menurut Tikha, anak ketiga dari empat bersaudara itu hanya mengalami keterbatasan fisik, tetapi tidak dengan intelektual sehingga bisa menuntut ilmu di sekolah reguler. Namun, tak sedikit sekolah yang menolak Bintang.

Baca juga: Rekor ”Bertebaran” di Peparnas 2024

Upaya memberikan tempat yang nyaman bagi Bintang belajar itu membawa Tikha hingga ke Surakarta. Sejak SMP, Bintang sudah mulai tinggal di Surakarta untuk menuntut ilmu. Saat SMP pula, pada 2018, Bintang berkenalan dengan boccia hingga menjalani debut di Asian Para Games Jakarta-Palembang.

Dengan segala tantangan itu, Bintang kini sudah menjadi mahasiswa yang tengah mengejar cita-cita menjadi seorang sarjana hukum. Peraih perak Asian Paragames Hangzhou 2022 ini juga mengejar mimpi kembali tampil di Paralimpiade dan meraih medali.

”Kalau saat itu memilih menyerah, mungkin jalannya berbeda. Dulu itu berat, suami juga sedang sakit, benar-benar down. Saya juga tidak tahu mau tanya ke siapa. Sekarang, alhamdulillah ketemu dan suka berbagi cerita dengan orangtua lain untuk saling mendukung,” ucap Tikha.

Kehadiran suaminya, Raksawinangun (57), sangat melapangkan hati Tikha untuk menerima kondisi yang ada, apalagi ketika Tikha pun melahirkan anak dengan down syndrome, anak bungsunya. Kata Tikha, Bintang dan adiknya itu adalah nikmat luar biasa yang diberikan Tuhan ke mereka.

Baca juga: Hitungan Detik Saptoyogo Berlari, Selamanya Menginspirasi

”Jangan pernah minder, jangan juga mereka ini diumpetin. Intinya jangan pernah dibeda-bedakan dengan anak lain. Justru harus didukung terus karena dukunganlah yang mereka butuhkan,” tutur Raksawinangun.

Bintang mengatakan, orangtua adalah sumber semangat utamanya. ”Saya

tergolong beruntung karena orangtua saya selalu memperjuangkan yang terbaik untuk anaknya. Mereka tidak mau menyerah atas saya,” ujarnya.

Orangtua yang suportif

Keberuntungan itu juga dirasakan Fina Septiana dan Fini Septiani, kembar identik penyandang tunanetra yang berlomba di cabor renang. Orangtua yang suportif menjadi modal berharga Fina bisa meraih medali perunggu untuk nomor 100 meter gaya bebas klasifikasi S13 dan 100 meter gaya dada S11. Adapun Fini finis pada peringkat keempat di dua nomor itu.

”Makanya, medali ini saya persembahkan salah satunya untuk keluarga, terutama orangtua,” ucap Fina sambil menunjukkan medalinya.

Sutini (42) tak pernah menganggap Fina dan Fini sebagai beban berat yang harus dipikul. Bagaimana pun kondisinya, tutur Sutini, kedua putrinya itu adalah titipan dari Tuhan yang harus dirawat dan dijaga dengan baik.

Baca juga: Dari Surakarta, Spirit Kesetaraan Kembali Bergema

Saat anak-anaknya sering mengeluh kelelahan karena menjalani latihan berat atau bersedih karena kangen rumah saat menjalani pemusatan latihan, Sutinilah yang pertama menguatkan mereka. ”Pada akhirnya, mereka mendapatkan jalan mereka sendiri, yang ternyata di olahraga,” ucapnya.

Wajar jika Bintang ataupun Fina melabelinya diri mereka sebagai orang beruntung karena memiliki orangtua suportif. Sebab, tidak semua orangtua atau keluarga dengan anak difabel mampu demikian. Hasil jajak pendapat Kompaspada 16-18 Oktober 2023 yang diikuti 512 responden membuktikan itu.

Hanya 51 persen yang merasa orangtua dan keluarga sudah memahami cara merawat anak berkebutuhan khusus atau disabilitas. Masih ada juga keluarga yang dinilai responden belum memperlakukan anaknya dengan baik (12,9 persen).

Merawat anak difabel yang dimaksud ialah memenuhi kebutuhan dasar, menyekolahkan di sekolah khusus, atau mengikutsertakan anaknya pada kegiatan nonakademis (olahraga, seni, dan sebagainya).

<p>Penyandang Disabilitas di Indonesia yang Ditangani Kemensos Tahun 2021 Infografik</p>
<p>Penyandang Disabilitas di Indonesia yang Ditangani Kemensos Tahun 2021 Infografik</p>

Mina Dabukke (62) merasa sebaliknya. Menurut Mina, dialah yang justru beruntung karena memiliki anak seperti Lazzaro Charasa Lumban, pelari paralimpiade asal DKI Jakarta. Dari Lazzaro, yang meraih medali perunggu nomor 100 meter T37, Mina belajar banyak hal, termasuk spirit pantang menyerah.

Sempat ada rasa tidak terima ketika mengetahui anaknya didiagnosis cerebral palsy sehingga mengalami kesulitan berbicara, kesulitan mengisap, mengunyah, dan makan, serta kaku pada jari-jari tangan. Namun, pada akhirnya, Mina mampu berdamai dengan itu.

”Saat Zarro bilang mau olahraga, saya awalnya berpikir itu tidak masuk akal. Saya waktu itu tidak tahu ada olahraga untuk difabel. Bersyukur karena dengan ikut ajang seperti ini, saya semakin kuat, berarti bukan hanya saya ibu yang mengalami kondisi seperti ini,” ucap Mina.

Hal itu pula yang dirasakan oleh Ma’asih (50), ibunda perenang paralimpiade asal DKI Jakarta, Rafi Syafar. Ma’asih masih ingat jelas bagaimana dia tidak terima ketika anaknya didiagnosis tunagrahita. Sebab, secara fisik, Rafi dan kembarannya, Rafli, tidak mengalami hambatan atau keterbatasan.

Baca juga: Medali Asian Para Games Hasil Mengalahkan Diri Sendiri

Mengukir rekor

Saat itu, mereka hanya kesulitan berbicara dan kerap mengamuk serta menghancurkan barang-barang. Kini, dengan penerimaan Ma’asih atas kondisi anaknya, Rafi menemukan jalan sebagai atlet. Dia tak hanya meraih medali emas, tetapi juga mengukir rekor nasional nomor 400 meter gaya bebas putra klasifikasi S14.

”Di air itu dia sangat senang dan tenang. Itu saja sudah membuat saya ikut senang. Lalu, dia jadi atlet dan berprestasi, bangga sekali,” ucapnya.

Ketua Komite Paralimpiade Nasional Indonesia Senny Marbun mengatakan, dukungan orangtua merupakan modal penting bagi anak difabel untuk bisa mengeluarkan kemampuan dan potensinya. Dia pun mendorong para orangtua dengan anak penyandang disabilitas untuk tidak malu atau bahkan menyembunyikan anaknya.

Apa yang ditampilkan di Peparnas, kata Senny, adalah bukti bahwa anak-anak penyandang disabilitas pun bisa berprestasi dengan kemampuannya sendiri. ”Pertama-tama hanya perlu dukungan dari orang terdekat, yaitu orangtua,” tuturnya..

Di balik setiap medali dan prestasi para atlet difabel, ada kekuatan cinta dan doa orangtua yang jadi pilar mereka. Orangtua inilah yang mencintai takdir walau takdir hadir dengan begitu brutal. Fatum brutum amor fati....


Cookies Injector