1. Sejak kapan wacana revisi Undang-Undang TNI bergulir?
Wacana revisi undang-undang TNI setidaknya bergulir sejak 2019 atau enam tahun silam. Saat itu mengemuka persoalan kelebihan jumlah perwira menengah dan tinggi TNI yang mengakibatkan ratusan perwira menengah dan tinggi tanpa jabatan. Restrukturisasi terhadap perwira menegah dan tinggi akan dilakukan, salah satunya dengan menempatkan sejumlah perwira tinggi TNI yang ”menganggur” ke sejumlah kementerian dan lembaga sipil.
Namun, penempatan perwira TNI di kementerian dan lembaga sipil terbentur Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang membatasi hanya 10 instansi.
Inspektur Jenderal TNI Letnan Jenderal Muhammad Herindra saat itu mengatakan sedang menyusun revisi UU TNI guna menambahkan beberapa lembaga yang jabatannya dapat dipegang perwira aktif. Sejumlah lembaga yang saat itu dikaji adalah Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kantor Staf Presiden, dan Badan Keamanan Laut.
Sejak awal bergulir di era pemerintahan Presiden Joko Widodo itu, wacana revisi UU TNI menuai penolakan dari kalangan masyarakat sipil. Mereka menilai, revisi UU TNI berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI semasa Orde Baru.
Baca JugaRevisi UU TNI Bisa Mereduksi Nilai Demokrasi
2. Bagaimana pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati untuk merevisi Undang-Undang TNI?
Pemerintah yang diwakili, antara lain, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, serta Komisi I DPR, Selasa (11/3/2025), sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Selanjutnya, mereka membentuk panitia kerja pembahasan Revisi UU TNI yang yang terdiri dari 18 anggota DPR dan 4 perwakilan pemerintah.
Ada tiga usulan pemerintah terkait dengan revisi UU TNI. Usulan revisi mulai dari Pasal 3 terkait kedudukan TNI, Pasal 47 terkait penempatan TNI di kementerian dan lembaga, dan Pasal 53 terkait dengan batas usia pensiun.
Sebelum kesepakatan itu, Komisi I DPR mengundang sejumlah pihak, seperti para ahli dan masyarakat sipil, untuk mendengar masukan terkait RUU TNI.
Baca JugaRevisi UU TNI, Perluasan Jabatan Sipil Dibahas
3. Apa saja substansi yang akan direvisi dalam UU TNI?
Ketua Komisi I DPR Utut Adianto seusai rapat panitia kerja revisi UU TNI, Sabtu (15/3/2025), menyebutkan ada tiga hal mendasar yang dibahas, yakni soal kedudukan Kementerian Pertahanan dan TNI, lingkup baru yang TNI boleh tetap aktif, dan terakhir soal usia pensiun prajurit.
Ada penambahan enam instansi dari yang sebelumnya hanya 10 kementerian/lembaga yang bisa ditempati TNI aktif. Enam instansi tambahan yang dimasukkan dalam revisi UU TNI adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Terkait dengan usulan perubahan usia pensiun prajurit, menurut dia, hal itu adalah bagian dari keadilan. Selama ini, prajurit tamtama dan bintara pensiun di usia 53 tahun. Di revisi UU TNI, usia pensiun prajurit diperpanjang secara berjenjang.
Sementara terkait operasi militer selain perang (OMSP), dalam revisi UU TNI akan diatur untuk 17 urusan dari semula 14 urusan. Penambahan tiga tugas dimaksud adalah membantu pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman siber, membantu pemerintah dalam melindungi dan menyelamatkan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri, serta membantu pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya.
Baca JugaTolak Pembahasan Diam-diam RUU TNI, Koalisi Masyarakat Sipil Protes di Tengah Rapat Panja
4. Bagaimana penolakan terhadap revisi UU TNI?
Penolakan terhadap revisi UU TNI tidak hanya terkait substansi perubahan, tetapi juga proses pembahasan tertutup di hotel mewah pada Jumat-Sabtu (14-15/3/2025), alih-alih mengikuti instruksi Presiden Prabowo Subianto terkait efisiensi anggaran pemerintah.
Secara substansi, kalangan masyarakat sipil dan akademisi menilai, revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dinilai bertentangan dengan agenda reformasi TNI, yakni mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara, sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi. Sementara secara proses, pembahasan revisi UU TNI dinilai kurang melibatkan masyarakat sipil, kampus, dan seluruh elemen masyarakat, serta terkesan buru-buru, elitis, dan sangat eksklusif.
Baca JugaKoalisi Masyarakat Sipil dan Akademisi Desak DPR dan Pemerintah Hentikan Revisi UU TNI
1. Sejak kapan wacana revisi Undang-Undang TNI bergulir?
Wacana revisi undang-undang TNI setidaknya bergulir sejak 2019 atau enam tahun silam. Saat itu mengemuka persoalan kelebihan jumlah perwira menengah dan tinggi TNI yang mengakibatkan ratusan perwira menengah dan tinggi tanpa jabatan. Restrukturisasi terhadap perwira menegah dan tinggi akan dilakukan, salah satunya dengan menempatkan sejumlah perwira tinggi TNI yang ”menganggur” ke sejumlah kementerian dan lembaga sipil.
Namun, penempatan perwira TNI di kementerian dan lembaga sipil terbentur Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 yang membatasi hanya 10 instansi.
Inspektur Jenderal TNI Letnan Jenderal Muhammad Herindra saat itu mengatakan sedang menyusun revisi UU TNI guna menambahkan beberapa lembaga yang jabatannya dapat dipegang perwira aktif. Sejumlah lembaga yang saat itu dikaji adalah Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kantor Staf Presiden, dan Badan Keamanan Laut.
Sejak awal bergulir di era pemerintahan Presiden Joko Widodo itu, wacana revisi UU TNI menuai penolakan dari kalangan masyarakat sipil. Mereka menilai, revisi UU TNI berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI semasa Orde Baru.
Baca JugaRevisi UU TNI Bisa Mereduksi Nilai Demokrasi
2. Bagaimana pemerintah dan DPR akhirnya menyepakati untuk merevisi Undang-Undang TNI?
Pemerintah yang diwakili, antara lain, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, serta Komisi I DPR, Selasa (11/3/2025), sepakat merevisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Selanjutnya, mereka membentuk panitia kerja pembahasan Revisi UU TNI yang yang terdiri dari 18 anggota DPR dan 4 perwakilan pemerintah.
Ada tiga usulan pemerintah terkait dengan revisi UU TNI. Usulan revisi mulai dari Pasal 3 terkait kedudukan TNI, Pasal 47 terkait penempatan TNI di kementerian dan lembaga, dan Pasal 53 terkait dengan batas usia pensiun.
Sebelum kesepakatan itu, Komisi I DPR mengundang sejumlah pihak, seperti para ahli dan masyarakat sipil, untuk mendengar masukan terkait RUU TNI.
Baca JugaRevisi UU TNI, Perluasan Jabatan Sipil Dibahas
3. Apa saja substansi yang akan direvisi dalam UU TNI?
Ketua Komisi I DPR Utut Adianto seusai rapat panitia kerja revisi UU TNI, Sabtu (15/3/2025), menyebutkan ada tiga hal mendasar yang dibahas, yakni soal kedudukan Kementerian Pertahanan dan TNI, lingkup baru yang TNI boleh tetap aktif, dan terakhir soal usia pensiun prajurit.
Ada penambahan enam instansi dari yang sebelumnya hanya 10 kementerian/lembaga yang bisa ditempati TNI aktif. Enam instansi tambahan yang dimasukkan dalam revisi UU TNI adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
Terkait dengan usulan perubahan usia pensiun prajurit, menurut dia, hal itu adalah bagian dari keadilan. Selama ini, prajurit tamtama dan bintara pensiun di usia 53 tahun. Di revisi UU TNI, usia pensiun prajurit diperpanjang secara berjenjang.
Sementara terkait operasi militer selain perang (OMSP), dalam revisi UU TNI akan diatur untuk 17 urusan dari semula 14 urusan. Penambahan tiga tugas dimaksud adalah membantu pemerintah dalam upaya menanggulangi ancaman siber, membantu pemerintah dalam melindungi dan menyelamatkan WNI serta kepentingan nasional di luar negeri, serta membantu pemerintah dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika, prekursor, dan zat adiktif lainnya.
Baca JugaTolak Pembahasan Diam-diam RUU TNI, Koalisi Masyarakat Sipil Protes di Tengah Rapat Panja
4. Bagaimana penolakan terhadap revisi UU TNI?
Penolakan terhadap revisi UU TNI tidak hanya terkait substansi perubahan, tetapi juga proses pembahasan tertutup di hotel mewah pada Jumat-Sabtu (14-15/3/2025), alih-alih mengikuti instruksi Presiden Prabowo Subianto terkait efisiensi anggaran pemerintah.
Secara substansi, kalangan masyarakat sipil dan akademisi menilai, revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dinilai bertentangan dengan agenda reformasi TNI, yakni mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara, sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi. Sementara secara proses, pembahasan revisi UU TNI dinilai kurang melibatkan masyarakat sipil, kampus, dan seluruh elemen masyarakat, serta terkesan buru-buru, elitis, dan sangat eksklusif.
Baca JugaKoalisi Masyarakat Sipil dan Akademisi Desak DPR dan Pemerintah Hentikan Revisi UU TNI