Selain menewaskan ratusan ribu orang, bencana dahsyat tsunami Aceh 2004 juga menyebabkan warga kehilangan tempat berteduh dan terpaksa hidup di pengungsian.
Gempa dahsyat yang disusul gelombang tsunami di Aceh pada Minggu (26/12/2004) pagi mengakibatkan ribuan rumah hancur terseret gelombang. Tsunami meluluhlantakkan desa-desa pantai di sejumlah wilayah di Nanggroe Aceh Darussalam.
Selain menewaskan ratusan ribu orang, bencana dahsyat ini juga menyebabkan ribuan warga kehilangan tempat berteduh dan terpaksa hidup di pengungsian (penampungan) sementara. Ribuan warga yang mengungsi ini sebagian memenuhi masjid, meunasah, gedung sekolah, atau tinggal di tenda seadanya yang didirikan di lapangan terbuka.
Sebagian besar warga yang selamat kehilangan segala-galanya, mulai dari sanak saudara, harta benda, rumah, hingga mata pencarian. Mereka yang hidup harus memulainya kembali dari nol. Sekitar dua hingga tiga hari setelah peristiwa tersebut, sebagian korban selamat harus berkelit dari kondisi yang serba terbatas tanpa adanya makanan, pakaian, dan air bersih. Bantuan belum tersalurkan karena sarana prasarana masih porak-poranda.
Meskipun paket-paket bantuan dari luar Aceh sudah terlihat, seperti di Bandar Udara Blang Bintang, masih banyak korban yang berteriak kelaparan. Pada fase awal bencana, koordinasi dan sinkronisasi bantuan tampak masih sulit dilakukan karena jalur komunikasi juga masih putus. Bahkan, pihak dari luar negeri yang datang ingin membantu pun tak tahu harus berbuat apa. Jalur darat masih terputus karena jalanan dipenuhi lumpur dan puing belum bisa dilalui kendaraan. Evakuasi dan penyisiran korban selamat dan jenazah yang meninggal juga masih terus dilakukan.
Eksodus menjadi pilihan yang tak terhindarkan di tengah suasana yang serba tak jelas. Saat itu, pesawat Hercules TNI AU hendak mengangkut korban selamat menuju ke Medan. Ribuan orang pada Rabu (29/12/2024) memenuhi Bandar Udara Blang Bintang, Banda Aceh. Antara mereka yang baru datang dan mereka yang berupaya meninggalkan Banda Aceh bercampur aduk, membuat suasana bandara hiruk pikuk, semrawut, dengan situasi yang serba tak jelas.
Hambatan terbesar yang ada di awal penanganan bencana ini adalah kerja tidak bisa dilakukan karena kerusakan itu sendiri. Penyaluran bantuan, misalnya. Bahan bantuan mengalir deras, tetapi sulit disalurkan. Masalahnya, kendaraan pengangkut cukup sulit didapatkan. Kalaupun sebuah truk bisa didapatkan, bahan bakar untuk menggerakkannya tidak kalah langkanya. Tidak heran, ada truk bantuan yang didorong manusia untuk menuju sasarannya. Namun, dengan mendorong pun masalah sering belum terselesaikan. Infrastruktur berupa jalan bisa dikatakan hancur atau tertutup tumpukan sampah. Sementara korban bencana yang masih hidup banyak yang benar-benar berharap pada bantuan.
Menurut catatan Kompas, gempa dan tsunami Aceh menelan korban jiwa lebih dari 250.000 orang. Bencana juga menyebabkan 694.760 orang terpaksa mengungsi. Salah satu wilayah terparah, seperti Meulaboh, yang merupakan ibu kota Kabupaten Aceh Besar, luluh lantak dan kehilangan 30 persen lebih dari sekitar 195.000 jumlah warganya.
Seberat apa pun derita melanda rakyat Aceh, mereka harus melanjutkan kehidupan. Setahap demi setahap, mereka mulai mencoba bertahan hidup, dimulai dari tempat tinggal darurat. Perlahan warga kemudian membuat naungan darurat sebelum ada posko pengungsian dengan memanfaatkan sisa barang seadanya yang ada di sekitar mereka, mulai dari seng hingga daun nipah. Beberapa waktu setelahnya, pengungsi masih harus bertahan di hunian darurat hanya dengan berlindung di bawah terpal-terpal bekas.
Selain lokasi pengungsian di gedung-gedung dan masjid, warga di kawasan lain lambat laun memperoleh hunian sementara. Beberapa pekan setelah kejadian, barak penampungan mulai didirikan pemerintah untuk menampung pengungsi yang tidak tertampung di posko-posko. Tempat itu nantinya untuk menampung pengungsi yang tinggal di tenda-tenda.
Meski demikian, tak semua warga mau menghuni barak pengungsian, seperti penduduk di Desa Lampuuk, Kabupaten Aceh Besar. Mereka memilih membangun rumah di bekas rumahnya masing-masing dengan bahan baku seadanya. Penduduk Lampuuk enggan direlokasi ke hunian sementara korban tsunami karena, selain desa itu merupakan kampung halamannya, juga mudah mengakses laut dan lahan pertaniannya. Penduduk Lampuuk, yang tinggal 14 persen yang selamat, memang sebagian besar adalah nelayan dan petani.
Segala sisi kehidupan berlangsung di tengah berbagai keterbatasan yang nyata. Seperti di dalam lokasi pengungsian di Banda Aceh, ada yang harus menyembuhkan lukanya, bahkan ada yang harus melahirkan. Aktivitas kehidupan lain juga harus berlangsung, termasuk yang paling sederhana, makan dan minum. Hari-hari harus dilalui para pengungsi dengan penuh kesabaran dan perjuangan.
Mengantre menjadi menu sehari-hari untuk sekadar mendapatkan air bersih atau makanan di lokasi pendistribusian. Hanya semangat juang dan tekad untuk bertahan yang mereka miliki. Posko pengungsian sebagai titik bertemunya keluarga korban, relawan, dan aktivis sosial serta regu penyelamat juga menjadi tumpuan harapan bagi mereka yang masih kehilangan anggota keluarga untuk memasang pengumuman atau mencari informasi dengan harapan bisa bertemu kembali.
Bagi siswa sekolah, proses belajar-mengajar masih sulit dilakukan. Bukan saja karena gedung sekolah rusak, melainkan juga karena sebagian guru yang mengajar dan siswa juga tak jelas keberadaannya atau kehilangan keluarga karena bencana gempa bumi dan tsunami. Adapun sekolah-sekolah di kawasan yang selamat dari amukan tsunami sementara ini dimanfaatkan menjadi tempat pengungsian. Pemerintah sendiri menyatakan pada 1 Januari 2005 atau sekitar sepekan setelah bencana bahwa perbaikan infrastruktur pendidikan masih membutuhkan waktu selama setahun.
Berdasarkan catatan Posko Pemulihan Pendidikan di Banda Aceh, tidak kurang dari 380 sekolah yang rusak ataupun hancur rata dengan tanah, mencakup 63 TK, 220 SD/madrasah ibtidaiyah, 59 SMP/madrasah tsanawiyah, 31 SMA/aliyah, dan 7 SMK. Hancurnya sarana fisik pendidikan diikuti dengan hilangnya jiwa sekitar 1.500 tenaga pengajar. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Anas M Adam memperkirakan, hingga minggu kedua pascabencana, jumlah guru meninggal mencapai 2.500.
Spontanitas berbagai kalangan yang peduli terhadap keberlangsungan pendidikan di NAD patut dihargai. Tidak kurang dari 10 badan dunia dan organisasi nonpemerintah dalam negeri berkoordinasi dengan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mendirikan berbagai sekolah darurat. Anak-anak mulai dapat mengenyam layanan pendidikan kembali dengan adanya sekolah-sekolah darurat. Tenda menjadi ruang-ruang kelas sementara mereka untuk tetap menuntut ilmu demi masa depan. Dalam sekolah itu, anak-anak tetap semangat belajar. Sesekali juga diselingi hiburan dan bermain bersama untuk sekadar mengalihkan pedih dan mengurangi trauma yang mereka rasakan.
Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam memang sudah biasa dengan istilah sekolah darurat alias sekolah tenda. Maklum, sebelum dilanda gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, konflik sosial politik telah meluluhlantakkan sendi-sendi pendidikan di wilayah ini dua tahun sebelumnya. Sekitar 600 sekolah terbakar dan sekitar 40 guru dibunuh oleh pihak tak dikenal.
Setelah setahun berlalu, para pengungsi akhirnya harus bangkit menata masa depannya. Dengan dukungan berbagai macam kursus yang diberikan para sukarelawan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (PLSP) Departemen Pendidikan Nasional di Lamlagang, Banda Aceh. Di posko yang kemudian dikukuhkan menjadi Pusat Pelatihan Pendidikan Nonformal itulah ratusan pengungsi lain mengasah keterampilan. Mereka sadar harus segera bangkit dan tak bisa terus bersandar pada bantuan pemerintah. Mereka sendirilah yang harus menentukan arah hidup selanjutnya.
Kursus yang diberikan meliputi keterampilan tata rambut, kursus pijat refleksi, montir otomotif, menjahit, komputer (perangkat keras dan perangkat lunak), konblok dan reparasi mebel. Dengan semua keterampilan tersebut, para pengungsi atau warga belajar yang menjadi peserta kursus diharapkan bisa mendapatkan penghasilan pascabencana tsunami.
Sebagai ilustrasi, memang tsunami telah menghabiskan barang-barang inventaris kantor pemerintah dan swasta, termasuk juga komputer, tetapi ratusan komputer telah dikirim dari berbagai penjuru Tanah Air untuk ”menghidupkan” kembali Banda Aceh. Begitu pula dengan kemampuan montir, warga belajar yang tertimpa musibah bisa memperbaiki kendaraannya secara bersama-sama. Mulai dari menganalisis kerusakan, belajar teori dasar perbaikan mesin, sampai turun mesin.
Ini berarti diperlukan tenaga-tenaga terampil untuk pengoperasian, perbaikan, dan produksi barang. Peluang itulah yang hendak diisi para pengungsi di kamp Masjid Lueng Bata, kompleks kantor Pekerjaan Umum dan kompleks SD 62 Cot Mesjid, Banda Aceh. Hampir 100 pengungsi telah mengikuti kursus komputer, baik di kelas software maupun hardware hingga awal Maret 2005.
Bencana telah mengempaskan rakyat Aceh ke titik nadir, tetapi toh hidup terus berjalan dan harapan masih terbentang. Bangkit dan kembali berjuang menjadi pilihan yang niscaya bagi mereka.
Edisi khusus 60 tahun Harian Kompas dapat Anda pesan melalui tautan komp.as/Koran-Edisi60. Selain itu, pemesanan juga tersedia di toko resmi Kompas di platform e-commerce, seperti Tokopedia, Shopee, dan Blibli. Pemesanan hanya dibuka selama periode 9-23 Juni 2025, dengan pengiriman mulai dilakukan pada 27 Juni 2025.
Kerabat Kerja